Semburat jingga memancar dari timur buana. Menembus gumpalan-gumpalan putih yang berarak di angkasa. Menghangatkan tubuh-tubuh kekar berkulit kasar dan berdaun lebat. Membuka selimut dingin yang membungkusnya semalaman. Selimut itu berguguran dari pucuk dedaunan. Jatuh tersungkur menuju alas bumi.
Dunia telah bangun dari tidurnya. Burung-burung menyapa para warga yang mulai sibuk dengan urusannya. Kambing-kambing diikat dengan dadung oleh pemiliknya agar tidak kabur. Hewan pemamah biak(1) itu berjalan beriringan sambil terus mengembik. Maklum, hari ini adalah hari Kamis. Warga yang memiliki kambing dan sedang membutuhkan uang akan pergi ke pasar hewan. Menukar kambing-kambing itu dengan sejumlah uang.
Mbee! Mbee! Mbee!
Aku melewati dua ekor kambing berwarna hitam yang sedang mengembik, berjalan di depan pemiliknya. Aku melihat ada sebuah harapan dari sang pemilik kambing agar kambing-kambingnya laku terjual. Berangkat membawa kambing dan pulang membawa uang. Mereka berharap bisa menyerahkan uang itu kepada istri untuk memenuhi kebutuhan yang kian hari kian mencekik. Atau digunakan untuk membayar keperluan-keperluan sekolah anak-anaknya.
Aku terus mengayuh sepedaku. Kembali melewati sawah Pak Samsul. Menyaksikan Pak Samsul dan petani-petani lainnya yang sedang berada di pematang sawah. Berjalan sambil mengenakan tudung dan membawa cangkul di pundaknya. Juga melihat orang-orangan sawah yang dibuat untuk menakuti burung-burung agar tidak memakan padi yang sedang ditanam.
Kembali melewati jembatan di atas Sungai Sirep. Menyaksikan gagahnya Gunung Ranahantap yang masih diselimuti kabut putih di sekelilingnya. Jalanan semakin lama semakin ramai. Ada yang berangkat ke kantor, ke sekolah, ke pasar, maupun ke tempat-tempat lainnya di kota kecil ini. Para tukang parkir juga sudah ada yang berdiri di tempat kekuasaannya masing-masing. Begitu pula kernet angkot dan bus yang mulai berteriak mencari penumpang. Ada pula angkot dan bus yang tanpa kernet. Jika seperti itu, maka sopir akan merangkap jabatan sekaligus menjadi kernet. Ikut berteriak memekikan tujuan pemberhentian kendaraan yang sudah mulai peminat itu.
Jembatan yang selalu kulewati untuk menuju ke sekolah adalah pembatas antara desa dan kota. Maka akan terasa benar kualitas udara antara daerah sebelum jembatan yang masih segar dengan daerah setelah jembatan yang lebih pengap dan berdebu.
Pintu gerbang sekolahku telah ramai. Para siswa seperti sudah tidak sabar untuk menuntaskan ujian hari ini. Wajar saja karena hari ini adalah hari terakhir ujian. Setelahnya adalah hari-hari kebebasan sekaligus kegalauan. Bebas dari tugas-tugas sekolah dan galau menunggu kelulusan sekaligus bingung memilih sekolah yang baru.
Aku tak mau berpikiran jauh. Tahap demi tahap. Pikirkanlah apa yang ada di hadapan kita terlebih dahulu. Dan sekarang aku akan fokus untuk ujian terakhir ini. Besar harapanku untuk bisa lulus sebagai peringkat pertama. Aku yakin kali ini bisa mengungguli Sarah. Serta ingin membalas segala ejekan dari Geng Sableng dengan sebuah prestasi.
Setelah memarkirkan sepeda di tempat parkir, aku langsung menuju ruang ujian. Namun, seseorang menghentikan langkahku. Ia adalah Yayan, teman sekelasku. Ia memberiku botol kecil dengan cairan kuning di dalamnya. “Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Oh, itu vitamin. Dari Pak Bondi. Katanya harus segera diminum biar bisa fokus dalam mengerjakan ujian nanti. Nih aku juga dapat. Yuk diminum sekarang!” ajaknya.
Aku agak kurang yakin dengan perkataan Yayan. Kenapa tidak diberikan ketika sudah di depan ruang ujian. Diminum bersama-sama dengan teman yang lain. Apakah hanya aku dan Yayan saja yang mendapatkan vitamin ini? Kenapa terasa aneh? Namun, jika itu memang benar pemberian dari Pak Bondi aku tak bisa menolaknya. Lagi pula aku tahu Yayan itu anak yang baik di kelas. Tidak mungkin dia berbohong. Ah sudahlah jangan terlalu dipikir, aku tak ingin stres sebelum menghadapi ujian. Aku pun langsung menenggak vitamin itu. “Terima kasih,” ucapku pada Yayan. Kami berdua pun berjalan menuju ruang ujian.