Satu jam telah berlalu. Aku sudah berhasil menyelesaikan separuh soal ujian. Suasana di dalam ruangan ini hening. Hanya ada suara peserta ujian yang membolak-balik lembar soal ujian. Suara pena yang digoreskan ke atas kertas. Suara kursi yang beberapa kali digerak-gerakkan oleh siswa. Jam dinding yang berdenting. Juga suara burung-burung yang beterbangan di luar ruang ujian.
Lima menit selanjutnya aku berhasil menyelesaikan lima soal. Namun, tiba-tiba perutku terasa mulas. Melilit. Semakin lama terasa semakin mencekik. Pena kuletakan ke atas meja. Refleks aku langsung mengelus-elus perut. Lima menit berlalu terasa sangat panjang. Selama itu pula aku sudah tidak bisa fokus dalam mengerjakan soal. Sesekali wajah kutundukan ke bawah untuk mengurangi kecurigaan siswa dan pengawas ujian. Lima menit kemudian aku memutuskan untuk mengangkat tangan. Meminta izin ke belakang kepada Pak Bondi selaku pengawas ujian.
“Silakan, Pao.”
Aku langsung berjalan setengah berlari menuju ke kamar mandi terdekat. Sampai ke kamar mandi, pintu langsung kututup rapat-rapat. Kupikir aku mulas karena habis makan sambal tadi pagi dan belum sempat untuk buang hajat, tetapi ternyata bukan itu penyebabnya. Tidak ada tanda-tanda aku akan mengeluarkan hajat. Kutunggu beberapa saat dan tetap tidak ada perubahan. Peurtku semakin sakit. Tubuhku semakin lemas. Bahkan untuk berdiri pun terasa sulit. Aku harus jongkok di atas kloset. Keringat dingin bercucuran.
Dog! Dog! Dog!
Pintu kamar mandi diketuk dari luar. “Sebentar,” jawabku dengan nada lemah. Padahal jika tidak sedang sakit pun suaraku juga termasuk lemah. Apalagi dengan kondisi sekarang yang sedang menahan sakit.
“Cepat!” ujar suara dari luar. Namun, tak lama kemudian, ada suara tawa yang menggelegar. “Kasihan banget kamu, Pao-Pao.”