Dua setel pakaian, sarung, dua botol besar berisi air minum, dan sebungkus roti tawar kumasukkan ke dalam tas. Tidak lupa senter, jas hujan kelelawar, serta tali pramuka kubawa. Tak ketinggalan sebuah buku kecil tempat menuliskan puisi-puisiku. Beruntung aku selalu disiplin dalam mengikuti ekstrakurikuler pramuka yang dilaksanakan setiap hari Jumat di sekolah. Setidaknya, sekarang aku telah mempunyai keterampilan dalam membuat tenda ponco. Kali ini saatnya menggunakan keterampilan itu di lapangan.
Aku kembali mengecek isi di dalam tasku. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Dan benar saja. Aku lupa membawa tikar untuk alas tidur. Namun, sudah tidak ada bagian dalam tas yang kosong. Sudah penuh dan terasa sangat berat. Mungkin beratnya hampir seperempat dari tubuhku. Maka aku memutuskan untuk mencangking karpet itu. Setelah lengkap semua barang yang kuperlukan, aku segera mengenakan sepatu dan jaket.
Sempurna. Aku telah siap untuk bermalam di tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tempat yang sudah sedari lama ingin aku kunjungi.
“Mau ke mana, Dek?” tanya tukang ojek yang akan membawaku pergi.
“Gunung Ranahantap.”
“Maaf, Dek. Motor saya nggak kuat melaju sampai ke gunung itu.”
“Pos pendakiannya, Pak.”
“Oalah, baiklah. Adek mau mendaki? Kok sendirian aja? Teman-teman nya di mana?”
Untuk mengurangi kecurigaan tukang ojek ini, aku mengatakan kalau teman-temanku sudah menunggu di pos pendakian. Aku ketinggalan rombongan.
“Baiklah, cepat naik, Dek.”
Aku pun segera membonceng. Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam membisu, seperti biasanya. Ya, itulah tabiatku. Sementara tukang ojek berkumis tipis itu terus mengoceh tiada henti. Ia bilang kalau sudah pernah mendaki gunung itu. Katanya pemandangan di puncak sangat indah. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Lelahnya perjalanan saat mendaki bakal terbayarkan. Meskipun beliau mengatakan indahnya pemandangan di puncak tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, tetapi tetap saja mulutnya menyerocos tiada henti menggambarkan keindahan lukisan alam ciptaan Ilahi itu secara mendetail.
“Dari atas gunung, lautan daratan terhampar luas. Kalau beruntung, kamu bisa berdiri di atas awan, Dek. Ya, puncak gunung itu lebih tinggi dari awan. Pasti kamu bakal ketagihan buat naik lagi deh. Aku saja ingin sekali naik lagi, tetapi belum ada waktu yang pas, harus bekerja untuk makan istri dan anak,” ujarnya.
Aku yang hanya berniat ingin menyendiri di gunung itu kini menjadi sangat antusias untuk melihat pemandangan yang tersaji. Tukang ojek itu berhasil menghanyutkanku dalam ceritanya. Dan aku mendapatkan satu hal yang aku suka dari tukang ojek itu. Beliau benar-benar menyayangi istri dan anaknya. Semangat bekerja dan tidak mementingkan diri sendiri dengan melakukan hobinya. Ia tahu mana waktunya untuk bekerja dan mana waktunya untuk melakukan hobinya.
“Tapi ingat, Dek. Gunung itu angker. Katanya ada yang pernah mendengar suara gamelan saat mendaki. Terus saat suara itu didekati, ternyata nggak ada apa-apa. Terus ada juga yang pernah melihat pocong. Melompat-lompat mendekati si pendaki hingga pendaki itu pingsan. Juga ada pendaki yang tersesat. Berputar-putar di tempat yang sama berkali-kali, padahal di situ sudah ada penunjuk jalannya yang terpampang jelas. Ada pasar hantu, dan masih banyak cerita mistis lainnya deh, Dek.”
Glek! Baru saja antusias mendengarkan cerita indahnya pemandangan di puncak gunung. Sekarang aku merasa menyesal terus mendengarkan cerita tukang ojek ini. Bukan aku tak percaya, tetapi itu bisa membatalkan niatku untuk menyendiri di sana. Jika pun nantinya di puncak akan ramai oleh pendaki lain, setidaknya aku ingin mendapatkan ketenangan dari perjalananku ini. Aku ingin mengajak temanku―sepi,―ke tempat baru.
“Kalau teman-temanmu sudah jalan duluan bagaimana, Dek?”
“Tidak apa-apa.”
“Kamu tetap mau menyusul mereka sendirian?”
“Masih ada satu teman.”
“Dia tetap menunggu kamu di pos?”
“Tidak.”
“Lah bagaimana? Kalau dia nggak ada di pos, terus ada di mana?”
“Ikut aku.”