Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #17

Di Atas Awan

Benar apa yang dikatakan oleh tukang ojek itu. Pemandangan dari puncak Gunung Ranahantap sungguh sangat memesona. Dan aku beruntung sekali karena mendapatkan kesempatan untuk berada di atas awan. Ya, aku tidak bisa melihat daratan di kaki gunung. Semuanya tertutup awan putih yang terlihat seperti bulu-bulu domba, juga mirip dengan kapuk yang biasa digunakan untuk mengisi bantal. Dari sini aku juga bisa melihat matahari yang mulai bergerak naik dari balik bukit di ujung timur. Cahayanya berpendar oranye. Menyialukan mata. Cahaya itu menghujani awan di bawahnya. Langit di sekeliling pun terlihat jingga. Sungguh sangat indah lukisan dari Yang Maha Kuasa.

Aku terpana. Terpesona. Sementara Pak Jailani terlihat lebih anteng. Ia menikmati keindahan alam ini secara tak berlebihan. Tidak ada ekspresi yang mengatakan “wah.” Mungkin beliau sudah sering mendaki gunung ini. “Bagaimaan, Pao? Indah bukan?” Agaknya tanpa aku memberitahu dengan bahasa lisan pun Pak Jailani sudah paham melalui ekspresi wajah yang aku tampilkan. Seumur-umur aku tak pernah pergi berlibur. Dulu saat pihak sekolah mengadakan liburan ke luar kota aku tak ikut. Ibu tak memiliki uang. Aku harus menerima kenyataan itu. Setiap hari pun aku hanya berputar-putar antara rumah, sawah, sungai, dan sekolah. Itu saja. Tak pernah keluar jauh dari sarangku.

Rerumputan yang berwarna hijau pun ikut menyala terkena sorot matahari. Angin berembus mesra membelai tubuh. Dingin mulai memudar, perlahan udara menjadi terasa lebih hangat. Meskipun begitu, aku tetap menggunakan jaket. Sehangat-hangatnya tempat ini masih menyimpan suhu yang jauh lebih rendah dibandingkan di rumahku.

“Cobalah kamu tulis beberapa bait puisi yang menggambarkan pemandangan di sini, Pao!” pinta Pak Jailani. Segera aku membuka tas. Mengambil buku catatan berukuran A5 yang sudah terisi dengan beberapa puisiku saat sedang menyendiri berteman dengan sepi, dan sebuah pena. Kubuka buku itu beberapa halaman sampai aku menemukan halaman kosong di dalamnya. Aku berjalan menuju sebuah batu besar. Kebetulan semua pasang mata sedang sibuk memandangi langit. Tidak ada yang duduk di batu itu. Aku langsung menduduki batu itu. Menggerakkan pena, dan langsung menuliskan isi hatiku pada buku catatan itu.

Aku menjauh dari kebencian dan ketidakadilan yang terus mengejarku

Menerjang ilalang, menapaki bebatuan, serta melompati akar menjulang,

Bergerak menuju puncak kedamaian

Aku harus bergelut dengan diri sendiri

Melepaskan semua kerinduan yang terpatri dalam hati

Lihat selengkapnya