Ilalang kuterjang. Akar pohon yang menutupi jalan kutabrak. Aku tersandung dan terjatuh. Lutut membentur tanah yang diselimuti dedaunan kering. Celana bagian kiri sobek terkena ujung ranting yang runcing. Aku mengaduh. Sarah berteriak kencang “Pao-Pao!” Ia berlari mendekat. Melompati akar yang telah membuatku terjatuh. Refleks dia berjongkok dan memegang pundakku. Aku kembali merasakan kehangatan di tengah kepungan udara dingin yang mencekam.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Sarah dengan wajah penuh antusias. Aku menatap wajahnya. Ia sedang memperhatikan luka di lututku. Wajahnya cantik dan meneduhkan ketika dipandang. Meskipun gigi gingsul dan lekukan di pipinya tidak dipamerkan, tetapi tetap saja ia terlihat cantik. Lima detik kemudian, matanya membalas tatapan dariku. Gigi gingsul dan lesung pipinya masih disimpan. Ia tampak khawatir dengan keadaanku. “Maafkan aku karena telah membuatmu terjatuh,” ujarnya sambil kembali mengalihkan pandangannya ke bawah. Sinar matahari semakin pudar. Apalagi pohon-pohon besar berdiri tegak di samping kami. Sebentar lagi senja akan berganti dengan malam.
“Akar itu yang menyebabkan aku terjatuh. Kamu tidak bersalah, Rah.”
“Tapi karena kabar dariku kamu jadi terjatuh. Maafkan aku.”
“Kamu sama sekali tidak bersalah, Rah. Lagi pula kamu sudah banyak berbuat baik kepadaku. Aku berutang budi kepadamu. Tapi bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?”
“Paman Jailani yang mengirim chat ke aku saat kalian masih di gerbang masuk pendakian. Beliau bilang mau mendaki di Gunung Ranahantap bersama temanku yang dulu main ke rumah. Siapa lagi kalau bukan kamu? Karena selama ini belum ada temanku yang datang ke rumah.”
“Pantas. Tapi kan kamu bisa mengajak saudara kamu untuk menemani kamu ke sini. Atau siapa pun itu supaya kamu tidak sendirian ke sini.”
“Sebenarnya ada yang menawarkan diri ingin menemaniku.”
“Lalu?”
“Roben. Dia yang ingin menemaniku untuk mencari kamu di gunung ini.”
“Roben? Bagaimana dia tahu kalau kamu mau mencariku di sini?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu karena aku sama sekali tidak cerita kepada dia.”
Kenapa ketika sedang mencari kedamaian di atas gunung pun masih kudengar nama Roben? Apa dia rindu kepadaku? Mungkin lebih tepatnya rindu untuk menjahiliku.
“Kamu masih bisa berdiri?” pertanyaan Sarah membuyarkan lamunanku.
Aku mencoba untuk menggerakkan kakiku yang terluka. Lalu mencoba bangkit. “Aarrgghh!” Masih ada rasa sakit. Aku berhasil berdiri dengan dibantu oleh Sarah. Aku sudah tidak mampu untuk berlari lagi, hanya bisa berjalan dengan agak sedikit pincang. “Sini aku bantu.” Tanpa meminta persetujuan dariku, ia langsung memapahku berjalan.
Cahaya semakin meredup. Aku mengambil senter dari dalam saku di jaket. Ya, tasku masih berada di tenda Pak Jailani. Beliau sebenarnya ingin sekali menemani kami untuk turun, tetapi aku tak menggubrisnya dan langsung berlari hanya dengan membawa sebuah senter di saku jaket. Sarah langsung membuntutiku. Jadilah kami hanya pergi berdua. Sementara Pak Jailani masih harus membereskan tendanya.