Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #19

Sebuah Kejanggalan

Kebosanan itu kejam, tetapi kesepain lebih biadab daripada kebosanan. Kesepian adalah salah satu penderitaan manusia yang paling sedih(1).

Bukan aku tidak setuju dengan pemikiran dari salah satu novelis hebat Indonesia ini, tetapi aku merasa kalimat ini tidak relevan dengan diriku. Ya, mungkin setiap orang punya persepsi yang berbeda tentang sesuatu, termasuk tentang kesepian. Bagiku kesepian adalah teman terbaik yang setia mendengarkan curahan hati. Aku bisa berteriak lantang di depan temanku ini. Merasa nyaman, tenang, dan damai berada di sisinya. Aku justru merasa kebosanan dalam keramaian. Dan itu adalah penderitaan yang paling sedih. Entah apakah itu wajar atau tidak.

Satu lagi, sepi adalah waktu terbaik untuk berdoa. Seperti pada dini hari ini. Aku bisa khusyuk melaksanakan salat malam. Bersujud menghadap pada Sang Pemilik Waktu. Menengadahkan tangan, memanjatkan doa, meminta pertolongan agar ayah segera sembuh. Dalam salat kali ini, aku merasakan ada embun-embun kesejukan yang menetes di dalam hati.

“Ya Allah, Engkau adalah pemilik waktu, jadikanlah waktuku bersama ayah menjadi lebih berarti. Selamatkanlah ayahku dari musibah yang menimpanya. Sadarkanlah beliau dari pingsannya. Sadarkanlah beliau dari maksiat-maksiat yang dilakukannya. Berilah kesempatan untuk beliau bisa bertobat dan kembali kepada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, aku ingin ayahku bisa menyanyangiku seperti sayangku kepadanya.”

Air mata tak kuasa kubendung. Menetes di atas sajadah tempatku bersujud. Aku menangis dalam kesunyian malam. Aku yakin ayah masih bisa selamat. Aku harus yakin itu. Namun, jika beliau memang tidak bisa lagi ditolong, aku sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib hidupku. Kemana lagi tempatku untuk pulang. Ibu sudah meninggal. Aku tidak punya kerabat dekat. Aku bahkan tidak tahu keluarga ibu tinggal di mana. Apakah aku masih mempunyai kakek dan nenek? Entah, aku tak tahu. Juga dari keluarga ayah. Aku akan menjadi bocah yatim piatu jika ayah benar-benar berpulang. Menjadi sebatang kara. Apa memang aku ditakdirkan hanya berteman dengan sepi? Hanya dia yang tak mungkin meninggalkanku. Ia akan abadi sampai kematianku.

“Pao-Pao,” sapa seseorang dari luar musala rumah sakit. Sarah. Sedari tadi ia duduk di serambi masjid seorang diri. Ia terus-terusan merasa bersalah, padahal ia sama sekali tak bersalah. Sementara Pak Jailani tertidur di kursi tunggu. Beliau pasti kelelahan.

Aku mendekati Sarah yang sedang duduk di salah satu kursi. Ikut duduk di kursi sebelahnya. Ia menceritakan kejadian sebelum bisa menyusul aku di tenda Pak Jailani.

**

Assalamu’alaikum Pao-Pao.” Sarah memanggil Pao-Pao, tetapi bocah itu tak kunjung keluar. Ia kembali menyapanya, kali ini lebih keras, “Pao-Pao!” Tetap saja bocah itu tak keluar. Sarah mengintip dalam rumah melalui kaca. Ia tak mendapati ada orang di dalam, tepatnya tidak ada orang di ruang tamu. Semenit tidak ada orang keluar, dua menit ia mencoba menunggu orang keluar, tetapi tetap saja tak ada orang yang keluar. Sarah sendiri mengetahui alamat rumah Pao-Pao saat bocah itu berkunjung ke rumahnya. Pao-Pao berkata rumahnya tak jauh dari Pemakaman Sipanjer. Dari pemakaman itu belok ke kanan. Rumah keempat dari belokan itu di kanan jalan.

Sarah memutuskan untuk pulang. Tidak ada siapa-siapa di sini, padahal ia ingin sekali berkunjung ke rumah Pao-Pao sebagai bentuk rasa hormat karena bocah itu sudah mengunjungi rumahnya. Sampai di bawah pohon mangga yang rimbun memayungi halaman depan rumah, seorang lelaki menyunggingkan senyum kepada Sarah, ia pun balas memamerkan gigi gingsul dan lekukan di pipinya. Lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Pao-Pao, mengetuknya, dan memanggil nama Pao-Pao. Tetap sama. Tidak ada respons dari dalam.

“Maaf, Pak. Saya barusan juga mencari Pao-Pao tetapi tidak ada di rumah.”

“Aduh, bagaimana ini?” tanyanya entah bertanya kepada Sarah atau bertanya kepada diri sendiri.

“Memang ada apa, Pak?”

“Ayah Pao-Pao kecelakaan.”

Seketika Sarah ikut panik. Ia mengambil ponsel di celananya. Entah ingin menelepon siapa. Tidak tahu. Di ponsel itu muncul notifikasi dari Paman Jailani. Beliau memberitahukan kalau ia sedang mendaki Gunung Ranahantap bersama bocah yang dulu datang ke rumah Sarah. Tak salah lagi. Pao-Pao sedang mendaki bersama dengan Pak Jailani. Namun, saat ia mau menelepon Paman Jailani, nomornya sudah tidak aktif. Kemungkinan beliau sudah mulai mendaki, dan sudah tidak ada jaringan di sana.

Tak mau berpikir terlalu lama, Sarah langsung pulang ke rumah. Namun, sebelum pulang, ia meminta lelaki yang memberi kabar itu untuk membawa ayah Pao-Pao ke rumah sakit terbaik di kota. Biaya akan diurus semuanya oleh Sarah. Lelaki itu mengangguk. Entah karena paham dengan permintaan dari perempuan baik yang tidak ia kenal sama sekali itu, atau karena terpesona dengan kecantikannya.

Hanya perlu menuju gerbang depan rumah, menemui Pak Juned yang sedang berjaga. “Pak Juned, antar aku ke pendakian Gunung Ranahantap!”

Lihat selengkapnya