Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #20

Di Balik Nama Pao-Pao

“Kemarilah, Pao!”

Ini adalah malam kedua ayah sudah siuman. Sejak siuman sampai sekarang, beliau tak pernah memanggilku. Bahkan sepertinya untuk menatapku saja begitu berat. Ketika makan dan minum, tak mau untuk diambilkan. Ketika pergi ke toilet, tak mau diantar. Masih keras kepala. Ini adalah pertama kalinya ayah memanggilku.

Ayah melambaikan tangannya pelan. Matanya sayu. Bibirnya tetap pucat. Namun, aku melihat ada sesuatu yang belum pernah aku lihat dari sosok yang kini terbaring di atas ranjang itu. Beliau menarik bibirnya sedikit ke belakang. Ya, ayahku tersenyum. Ini adalah pemandangan paling indah yang baru pernah aku lihat. Ayah tersenyum padaku. Ah, tetapi mengapa ayah baru bisa tersenyum sekarang. Kemana senyum ayah selama lima belas tahun terakhir? Mengapa senyum itu diperlihatkan ketika aku pun tak tahu apakah masih bisa melihat senyum itu lagi atau tidak.

Aku mendekat. Ada perasaan senang, haru, juga sedih yang bercampur, menyatu, membuatku tak mengerti lagi apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bergerak mengikuti panggilan dari lambaian tangan ayah.

Suasana di dalam ruang inap ini sepi. Satu pasien di sebelah kami yang hanya berjarak dengan gorden sudah tertidur pulas. Sementara orang yang menunggu pasien itu juga sudah tertidur pulas, bahkan terdengar suara dengkurannya. Sementara Sarah sedang pergi keluar bersama Pak Jailani untuk membeli makan malam.

“Pao.”

“Iya, Yah. Pao-Pao selalu ada di samping ayah.”

“Dulu kamu pernah bertanya kan kenapa kamu diberi nama Pao-Pao?”

Aku mengangguk. Sebenarnya aku ingin mencegah ayah untuk berbicara lebih banyak lagi. Suaranya semakin serak dan lemah. Apalagi hari ini beliau hanya meminum air kurang dari segelas dan hanya makan beberapa suap bubur. Namun, aku juga sangat penasaran dengan makna dari namaku sendiri, dan jika tak dapat mendengarnya sekarang, mungkin sampai aku mati pun tak akan tahu kenapa aku diberi nama Pao-Pao.

Ayah tersenyum lagi. Kali ini bibirnya ditarik lebih ke belakang. Ah, andai ibu masih hidup, pasti beliau juga akan tersenyum melihat ayah kembali bisa tersenyum.

Ayah kembali melanjutkan kisahnya. “Dulu waktu masih seusia kamu, ayah itu bandel banget,” kenangnya sambil mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar. “Ayah itu sering membolos sekolah. Suka menjahili orang lain. Bahkan dulu ayah punya geng sendiri dan ayah menjadi ketua gengnya. Geng ini mempunyai satu target. Dia adalah anak paling pendiam di sekolah. Pokoknya kalau dijahili apapun dia tak berani melawan kami, dan dia juga tidak memiliki teman dekat. Bisa dibayangkan bagaimana sengsaranya hidup dia kan?” tanya ayah.

Sungguh aku baru mengetahui kisah hidup ayah yang satu ini. Dulu ibu tidak pernah bercerita tentang bagian ini. Ibu bilang kalau ayah itu orang baik. Beliau sangat menghormati suaminya. Dari petikan kisah hidup ayah, aku merasa jika kehadiranku di dunia adalah sebagai tumbal atas perbuatan tercela ayah di masa mudanya. Namun, aku tak berani untuk bercerita secara langsung kepada ayah. Tidak mungkin aku melakukannya. Melihat senyum ayah saja aku sudah sangat bahagia. Aku ingin mendengarkan cerita ayah sampai tamat.

Tapi ada satu kelemahan ayah. Kamu mau tahu, Pao?” Tentu tanpa bertanya pun aku ingin mengetahuinya. Aku tak mengangguk tetapi juga tak mengiyakan. Ekspresi mukaku menggambarkan jika aku antusias mendengarkan cerita ayah dan ingin segera mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh ayah sendiri.

“Ayah itu lemah dengan perempuan. Saat itu, ayah suka dengan seorang perempuan saat SMP menjelang SMA. Seusia kamu sekarang. Namun, perempuan itu tahu kalau ayah adalah ketua geng yang suka menjahili anak paling pendiam saat itu. Dia mengatakan kalau benar-benar suka maka ayah harus bersikap baik dengan anak paling pendiam yang selalu ayah jahili itu. Dan kamu tahu siapa perempuan itu, Pao?” Aku semakin penasaran, tetapi aku juga pasti tidak mengenal perempuan itu. Sudah lama. Lagi pula yang kutahu seburuk-buruk perilakunya, ayah hanya mempunyai satu wanita yang dicintai. Ya, siapa lagi kalau bukan ibuku.

“Perempuan itu adalah almarhumah ibumu, Pao.”

Deg!

Lihat selengkapnya