Bertemu Tahier

Nasywa Sabrina
Chapter #3

BAB III : Gantungan Kunci Sepatu Kayu

Menjadi bodoh dan gila itu sangat mudah, seperti ketika kita dapat percaya dengan seseorang yang baru kita temui beberapa jam lalu dan berharap akan sesuatu padanya. Hari itu aku menunggu kehadiran Tahier di depan gerbang. Ia memintaku untuk menunggunya di depan gerbang sepulang sekolah, setelah itu ia pergi dan menghilang. Hingga sore hari tiba dan langit mulai menunjukan tanda-tanda turun hujan dengan awan gelap yang menyelimuti Jakarta beserta suara gemuruh yang terus terdengar saling bersahutan, juga angin kencang yang membuat bulu-bulu di tubuhku naik.

Aku membuka tas ranselku, mengambil jaket kemudian segera memasangnya. Perlahan sekolah mulai sepi. Anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler pun sudah mulai kembali pulang. Dan dia—Tahier si laki-laki aneh—tidak kunjung datang memenuhi ucapannya, sementara aku dengan perasaan aneh ini merasa dibohongi dan merasa bodoh karena telah mengikuti permintaannya. Aku sadar bahwa tidak seharusnya aku merasa dibohongi dan bodoh dalam kasus ini, karena tidak apa-apa jika ia tidak menepati ucapannya, dan tidak apa-apa untuk tidak bertemu dengannya lagi sepulang sekolah. Dan secara bersamaan aku merasa sudah gila karena mempertanyakan perasaan-perasaan sebelum itu.

Aku memilih untuk pulang, meninggalkan sekolah dengan perasaan yang tidak bisa aku artikan. Beberapa menit aku pergi dengan ojek, hujan pun turun membasahi seluruh jalan di Jakarta ini. Untungnya aku sudah menggunakan mantel. Hari itu bulan Agustus tahun 2023, aku lupa tanggal pastinya. Hujan turun sangat deras.

Bapak dan Ibu menyambut kedatanganku di rumah. Oh tidak, di toko roti. Mereka tersenyum ke arahku. Ibu memberikan handuk untuk aku mengeringkan beberapa sisi tubuhku yang terkena hujan. Bapak menuangkan teh hangat untukku.

“Gimana tadi di sekolah, Kak?” Tanya Ibu. Aku anak tunggal, namun sejak kecil orang tuaku sudah terbiasa memanggilku dengan sebutan ‘Kakak’ dan aku tidak masalah akan hal itu.

“Biasa aja sih, Bu. Tadi aku diajak keliling sama Ketua OSIS.”

“Wah dapet teman baru nih!”

Aku hanya diam. Sebenarnya aku belum menganggapnya teman karena setelah ia memintaku untuk menunggunya di depan gerbang sepulang sekolah, sejak itu aku tak lagi pernah melihatnya di sekolah. Entah ia sedang sakit atau sedang berkegiatan di luar kota. Aku tidak tahu dan tidak juga ingin tahu keberadaannya. Intinya kami tidak lagi pernah bertemu setelah itu walaupun kelasnya ada di sebelah kelasku. Mungkin karena aku jarang juga berkeliling di lingkungan sekolah saat jam istirahat tiba.

Kemudian jari-jariku berhenti bermain diatas keyboard. Aku sudah menulis sebanyak 1831 kata tentangnya hari ini, Juli 2025. Lampu kafe perlahan padam, hanya lampu di kursiku yang masih menyala. Kursi-kursi di kafe juga sudah dirapihkan, kecuali kursiku. Aku rasa aku harus segera pulang. Menutup laptopku dan melanjutkan tulisan tentangnya di rumah.

. . .

Aku baru selesai membersihkan tubuhku. Tiba-tiba ponselku berdering dan itu dari Maurin. Tidak cukup waktu lama untuk Maurin muncul di hadapanku karena tujuannya menelfon untuk mengabari bahwa dia sudah ada di depan rumahku dan meminta aku membukakan pagar untuknya. Di sini dia sekarang, dengan wajah lesunya dan rambut yang sedikit berantakan. Dia baru saja pulang dari rapat organisasinya, aku tahu anak ini pasti baru saja mengerjakan sebuah kajian yang menjadi program kerjanya selama satu periode kepengurusan ini.

“Apa isu terhangat yang akan lo kaji bulan ini?”

“Tentang RUU KUHAP,” jawabnya sambil menghela napas panjang.

Akhir-akhir ini banyak sekali isu di Negara ini, salah satunya mengenai revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana lama atau biasa disingkat KUHAP yang mana bertujuan untuk menyesuaikan perkembangan hukum di Indonesia, namun pada nyatanya banyak pasal dalam RUU ini yang dianggap melemahkan hak asasi dan perlindungan warga.

“Ngeri sih, Ca. Bayangin pasal-pasal bermasalah kayak pasal-pasal multitafsir gitu disahkan. Atau ketentuan lain deh yang nggak efektif dalam penegakan hukum di Negara kita ini. Akibatnya serius banget, nggak cuma untuk kita sebagai warga negara, tapi juga untuk penegak hukum dan sistem demokrasi di negara ini, Ca,” sambung Maurin.

“Iya sih, Rin. Semoga dengan kajian yang lo bikin ini bisa bikin orang-orang melek soal permasalahan RUU KUHAP 2025 ini.” Aku melepas handuk yang terlilit di kepalaku. Kemudian menggantungnya di kamar mandi. “Kapan di-publish, Rin?”

Lihat selengkapnya