Sejak kepulangan Ramsey dari Manchester, Blackton Land dipenuhi keluarga dan tamu-tamu yang mengenakan setelan berwarna hitam. Masing-masing dari mereka membawa karangan bunga tangan sebagai simbol duka untuk penghuni Blackton Land, khususnya Clare dan Bertilda. Rose dan Adrian yang biasanya cerewet pun tidak mengucapkan apa pun selain kalimat 'turut berduka' yang singkat, sisa waktu mereka di Blackton Land adalah menangis tanpa suara di depan peti mati Ramsey.
"Clare, sayang," George yang baru datang berjalan tertatih mendekati Clare, "Aku sungguh menyesal."
Clare yang sejak tadi menggandeng Bertilda dalam diam pun menerima pelukan George dengan segala kerapuhan yang sejak tadi ia simpan. Clare bahkan tidak mengeluarkan setetes pun air mata saat menerima kabar kematian suaminya, bukannya tidak sedih, wanita itu benar-benar tidak bisa merasakaan apa pun hingga berakhir dalam pelukan George. Tubuh Clare gemetar, air mata meleleh dengan mudah pada wajahnya. Kehadiran George mengembalikan fungsi hati dan pikiran Clare yang sejak kemarin seakan mati.
"Kamu lihat dad?" Isak Clare, "Lihat apa yang pria itu lakukan padaku. Aku tak percaya ini."
George menepuk punggung Clare lembut, "Aku tahu, aku tahu, sayangku."
"Setelah semua yang kami alami, kenapa Ramsey harus pergi dengan cara seperti ini?" Bisik Clare, "Kami duduk bersama, kemarin setelah sekian lama tidak makan bersama, kami, itu semua hanya pertengkaran kecil dad."
George melepaskan pelukannya, ia menatap Richard yang sejak tadi berdiri tanpa ekspresi.
"Aku rasa Clare masih terpukul, tolong temani dia di ruang perapian," Pinta George, "Aku akan menggantikan Clare di sini."
Tanpa kata-kata Richard memegangi bahu Clare, ia menuntun Clare menuju ruang keluarga. Tatapan simpati para pelayat tak lepas dari sosok Clare hingga ia menghilang di belokan koridor.
"Grandpa," Suara lembut milik Bertilda membuat George berpaling dari peti mati Ramsey dan menatap pemilik suara, "Apakah dad belum bangun? Aku ingin menunjukkan little black dress ini padanya."
"Kamu terlihat sangat menawan lady." George tidak menjawab pertanyaan polos Bertilda tapi ia mengelus pipi gadis itu.
"Benarkah? Dad yang membelinya untukku, dad bilang aku akan menjadi lady sejati saat memakainya."
"Tentu saja, ayahmu pasti bangga melihatmu lady," Tukas George, "Sekarang berdoalah, kamu akan bertemu ayahmu lagi suatu hari nanti. Sambil menunggu waktu itu tiba, kamu harus hidup dengan baik."
Bertilda menatap George intens, "Oke, aku akan berdoa, tapi kemana dad pergi, grandpa?"
George tersenyum, "Surga."
***
Richard menambahkan kayu ke dalam perapian, membuat lidah api yang melemah di dalamnya lambat laun membesar dan memancarkan cahaya lebih terang. Setelah membawa Clare pergi menjauh dari ruang duka yang dibanjiri tamu, Richard mendudukkan Clare di sofa dan menyelimutinya dengan selembar kain bermotif etnik kesukaannya.
"Sudah lebih baik?" Richard menyodorkan segelas air mineral untuk Clare.
Wanita itu hanya mengangguk lemah, sebelah tangannya memegangi kepala. Tanpa menatap Richard, Clare menerima air mineral yang ditawarkan padanya.
"Clare, sayang, aku tahu ini bukan waktu yang tepat," Richard menggenggam tangan Jenifer, "Tapi aku ingin lebih serius dengan hubungan kita."
Clare meletakkan gelas di meja, ia menatap Richard tak percaya.
"Kamu gila?" Tukas Clare sinis, "Ramsey suamiku, terbaring di peti mati itu Richard!"
"Aku mengerti Clare," Richard menjelaskan lebih hati-hati, "Apa kamu tahu selama ini Ramsey tahu hubungan kita?"
Clare mendecih dengan senyuman remeh dan menepis tangan Richard, "Kalau Ramsey tahu, sudah lama aku mendepakmu dari Blackton Land."
Richard sudah menduga bahwa Clare tidak tahu apa-apa, "Sudah kuduga, sayangnya selama ini Ramsey mengetahui hubungan kita, Clare."
Clare menatap Richard penuh kemarahan, "Jaga mulutmu Richard, apakah begini caramu menghiburku?"