“Yah, pecel maneh1!” keluhku melihat hidangan yang tertata. Di atas meja makan itu, tampak sebakul nasi. Pendampingnya berupa bakul yang lebih kecil dan datar. Isinya beberapa jenis sayuran, seperti: bayam, kacang panjang, kecambah, dan bunga turi. Semangkuk saus kacang setia mengiringi di sebelahnya.
“Wis, ta2. Makan yang ada,” sahut Mas Ran. Datang-datang menaruh dua buku cukup tebal di meja. Tampak judul “Manajemen Rumah Sakit” dan “Pemasangan Infus” pada sisi sampul. Dengan tenang, dia duduk di kursi dekat buku. Penuh kepastian, nasi dan pecel bertengger dalam piringnya.
“Hem, ini kan, pecel kesukaanmu? Enak seperti biasanya, kok,” rayu Papi sambil mengunyah nikmat. Tubuh tinggi besarnya masih bugar saja di usia pensiun begini. Wibawa seorang perwira masih memancar jelas darinya. Seingatku, Beliau memang lebih atletis dari Bapak.
Kacang panjang yang digigitnya seolah-olah memamerkan kesegaran. Menunjukkan betapa tepat cara dan waktu masaknya. Huh! Bikin makin kesal aja.
“Bosan!” sergahku.
“Itu ada telur asin favoritmu. Cukup, kan?” bujuk Mas Han yang melintas menuju kamar mandi. Uh! Mas Han tahu aja deh, titik lemahku. He! Kehadirannya memberiku ide.
“Aku mau mi instan aja!” cetusku.
“Bikin sendiri, ya. Emak masih menyetrika seragammu, nih,” celetuk Emak terdengar dari sudut ruangan. Hari ini, ada pemandangan berbeda di sana. Emak tidak lagi bergelut dengan celana pendek merah, tetapi biru tua sebagai bawahan seragamku.
Ya, ini adalah hari pertama aku masuk SMP. Tidak tanggung-tanggung, lo. Aku diterima di SMP terbaik di kota ini! Enggak rugi deh, belajar keras menjelang ujinasional. Sebab, nilai Ebtanas murnilah yang menjadi standar penerimaan.
Mas Han keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Bajunya sudah berganti dengan pakaian rumah yang lain. Digosok-gosokkannya handuk di bahu ke rambut yang basah. Usai menyampirkan handuk itu ke jemuran di dekatnya, Mas Han pun mengucapkan kalimat yang kutunggu, “Sini, aku masakkan mi buatmu!”
Aku mengepalkan tangan kanan tinggi-tinggi. Lalu, ia kutarik hingga setinggi bahu dan memekik, “Yes! Mi goreng, ya. Diorak-arik sama telur!” ”
Mas Han memang selalu bisa diandalkan. Sepertinya, bukan cuma aku yang berpikir begitu. Mas San yang baru menemukan kaos kakinya ikut menimbrung, “Aku juga mau dong, minya. Enggak pakai telur ya, Mas.” Yang diajak bicara enggak menyahut. Terus aja asyik mengaduk isi panci kecil. Huh! Mengganggu selera aja Mas San ini!
“Makan mi aja, nanti ususmu melintir. Sekalian pakai telur, dong. Biar tambah pintar kayak adikmu,” saran Mas Ran yang selesai makan. Untung aja nasihatnya selalu pendek. Aku jadi enggak perlu dengar ceramah tentang gizi.
Mas San mencibir. "Sanggup kamu tetap peringkat satu di SMP favorit? Aku, nih! Biarpun cuma juara kedua di kelas, yang penting, juara soal berantem. Enggak manja kayak kamu!" pamernya sambil secepat ojek mengarahkan tinju ke depan batang hidungku. Untung aja, akhirnya cuma melayang di udara dan menyisakan gulungan angin yang cukup membuat pori-pori di pipi bergidik.
Memang, sih. Meski sama kurusnya dengan kami, Mas San itu jago berkelahi. Entah belajar di mana. Aku diam aja daripada dia ikut mendebat. Cowok berseragam putih abu-abu itu satu-satunya saingan terberatku. Dia selalu punya cara untuk menang. Akalnya enggak pernah habis-habis.
“Nih, adik-adikku yang manis! Sarapan yang lahap, ya.” Mas Han datang menengahi. Entah sejak kapan kacamata minus itu bertengger di hidungnya. Mestinya sih, sebelum memasak tadi sudah sempat mengambil, ya?
Disodorkannya mangkuk panas ke hadapan kami masing-masing. Aroma gurih yang menguar sejenak melenakan Mas San. Namun, melihat serat-serat putih bercampur kuning di dalamnya, Beliau cemberut lagi. “Aku enggak mau pakai telur,” gerutunya sambil menatap kecewa ke Mas Han.