Sejak SD, aku tahu betul bakatku. Matematika. Aku yakin bisa besar dan hebat dengannya. Semua karena decak kagum, gelengan kepala takjub, dan tepuk tangan mereka. Para penonton, guru, teman, dan tentu saja keluarga. Menjalani ajang Cerdas Cermat sembari tiduran di sela-sela giliran tim lain menjawab, untuk berikutnya melumat habis semua pertanyaan di babak Cepat Tepat.
Bagaimana tidak mereka mengelu-elukanku? Aku membawa nama sebuah desa terpencil menjadi jawara di kota besar. Pertama kali dalam sejarah, SD-ku mengukir prestasi dan layak berbusung dada menyebut dirinya sekolah berkualitas. Padahal, itu semua semata karena prestasiku.
Meski lemah di mata pelajaran selain Matematika dan IPA, tetap saja masih bisa mengompensasinya hingga selalu menduduki peringkat pertama. Penghargaan ini membuatku tidak mengenal kata gagal. Aku tidak pernah kecewa dan berkecil hati walau tidak menguasai semua pelajaran. Toh, semua orang di sekitar selalu menganggapku cerdas, bahkan jenius.
Apa jadinya jika jagoan pelosok keluar kandang? Masihkah bisa menyandang gelar kampiun setelah menghadapi para ahli cendekia di jagat sana? Dengan materi pelajaran yang lebih meluas dan mendalam. Saat IPA terbagi menjadi Fisika, Biologi, dan Kimia; sebuah tantangan, rintangan, dan pemahaman baru tercipta.
Kala kembali diajak memaknai besaran, hanya yang terhitung yang dapat diusung. Ada yang pokok dan turunan, ada yang skalar dan vektor si penanya arahan. Di antara standar internasional dan banyak standar tak dikenal, harus beradaptasi dari satuan ini ke satuan lawan.
Lagi-lagi diajari pengukuran. Menyebut nilai sebuah besaran saja, beraneka timbangan dikerahkan.
Kaupikir aku ini apa? Kupikir, aku pun tak tahu jawabannya. Dari yang padat, cair, dan gas; kupilih plasma nan sekuat padat, seklir air, dan sebebas gas; zat yang di jenjang ini tak dibahas. Padahal, para ahli telah lama mengupas, dan kemiripannya denganku sangat lugas.
Aku tak ingin beku, tak mau sekadar pengisi pelimau, ku hendak lebih tinggi mengepak. Biarkan panas mengaliri, agar memuai dan membanjiri, lalu ke udara menyigai. Nanti akan kucari, cara mengionisasi diri. Karena, sang plasma demikian membuat terkesima. Ingin ku mengadopsinya sebagai atma. Menjadikannya dan aku dikenal bersama. Mengetuk nurani ilmu tentang sesuatu yang indah tapi tak diindah.
Bergerak, harus bergerak, meski belum secepat burak. Hanya terharak-harak. Namun, sepijak demi sepijak, ku akan sampai puncak dengan potensi nan layak dan paling marak. Bukan gagahnya awak, penampilan yang rancak, atau harta yang banyak. Semata karena cergasnya benak. Bergerak, harus bergerak. Biarlah disebut lasak. Toh, setiap insan berhak berlagak, demi mengukir keberhasilan kelak. Dengan kekuatan otak, aku pun mulai bertolak.
Jangan biarkan onak berkuasa, hingga menyusahkan yang tercinta. Segala gangguan yang ada, bisa dihela dengan usaha. Setiap manusia, memiliki cukup tenaga. Untuk berdiam atau berdentum meriam. Galanglah gaya, kawinkan dengan jarak pindah. Ubahlah stamina, menjadi keterampilan berlaga. Perbesar massa dan kecepatan yang ada. Dengan latihan senantiasa, hasilnya kan kentara.
Jangan terus menekan! Diam-diam, piranti makan pun berubah menjadi alat tikam nan tajam menghujam.
Sedangkan cinta, getarannya melambungkan hingga langit tertembus, untuk kemudian ke lumpur aku tercelus. Apa lagi kala merambat sebagai gelombang. Transversal atau longitudinal, keduanya memicu kerja adrenal.