Bes: Son of Science

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #3

Pengukuran

Sepatu serba hitamku segera menapak kerasnya aspal begitu turun dari lyn biru. Ya, lyn! Begitulah panggilan akrab warga Jawa Timur untuk menyebut angkot. Mengambil gampangnya, kami biasa melafalkannya dengan “len”. Entah dari mana nama aneh itu berasal. 

Yang kutahu, itu untuk membedakan dengan bemo, moda transportasi umum yang memiliki moncong lebih panjang dengan pintu penumpang di belakang. Sedangkan lyn, bemper depannya lebih ramping dan pintu masuk di sisi kiri mobil. Bisa jadi, nama lyn itu berasal dari kata line (garis). Mengingat ia memiliki tempat duduk lurus seperti garis dan berhadap-hadapan. Mirip dengan bemo, sih. 

Usai menyerahkan dua keping koin seratusan kepada sang pengemudi, kurapikan seragam yang agak kusut akibat berdesakan di antara para penumpang. Malas berlama-lama melakukannya, kualihkan perhatianku ke arah lain. Biarlah angin yang menyetrikanya kembali, jika sanggup.

Tampak lebih jelas kini di hadapan, sebuah gedung SMP berlantai dua yang cukup megah walau terkesan agak suram. Besar, tentu saja lebih besar dan luas dari gedung SD-ku dulu. Namun, warna dominan kelabunya terasa kaku dan lesu. 

Sebenarnya, ada pohon-pohon palem yang berjajar tinggi menaungi sepanjang koridor depan. Di antaranya, palem-paleman versi mini ikut menghiasi bersama beberapa tanaman perdu lain. Pakis, Tradescantia, dan Anthurium adalah yang paling menonjol dalam pandanganku. Namun, mereka semua seolah-olah enggak cukup menebarkan rasa segar ke seluruh penjurunya.

Walau bagaimanapun, setiap anak yang diterima masuk untuk belajar di sini pasti merasa bangga. Sebagai SMP terfavorit di kota berhawa sejuk ini, keangkuhan gedungnya seakan-akan sah saja karena predikat yang tersandang.

Aku memandang jeruji pagarnya yang tinggi dan sedang terbuka itu dengan rasa agak waswas. Sekolah favorit, pasti ada banyak siswa pintar yang berkumpul di sana. Jika selama ini aku adalah yang terhebat di SD, apakah aku masih bisa menjadi pemenang di sekolah ini? Tempat di mana para murid dengan NEM tertinggi di kota mengecap pelajaran di dalamnya.

Kugenggam kedua tali ransel di tangan dan segera menyampirkannya ke bahu kanan. Baru beberapa langkah aku mengayunkan kaki menuju gerbang, sudah tiga mobil yang melintas mendahului dan berhenti sejenak di depan gerbang. Kemudian, turunlah anak-anak berseragam putih biru sepertiku dan masuk ke gedung SMP itu.

Hem, mobil. Reflek aku menoleh ke belakang, mencari dukungan dari kendaraan yang tadi mengantarku. Bodoh, memang. Jelas aja ia sudah lama berlalu, mengantarkan para murid dan karyawan yang bersyukur karena masih sempat menaikinya. Rasa syukur yang tadinya menghinggapiku saat melihatnya melintas di ujung gang rumah, tetapi kini menguap begitu aja menyaksikan mobil-mobil keren yang lalu-lalang. 

Gontai saja kaki melangkah terus. Begitu gerbang sekolah itu terlalui, tampak banyak murid yang sudah datang. Umumnya mereka masih malu-malu dan memilih diam sepertiku. Namun, ada juga yang mulai berani mengajak berkenalan.

Aku cek namaku di papan pengumuman. Kelas 1A. Hem, bagaimana cara mereka membagi kelas ini, ya? Berdasarkan nilai, nomor urut pendaftaran, atau acak saja? Apa pun jawabannya, yang aku lakukan selanjutnya tetaplah harus mencari kelas berlabel 1A itu untuk dimasuki.  

Lihat selengkapnya