Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #1

(Prolog) Titik Nadir

(Bagaimana kalau besok saja kita bahagia?

Sabarlah, hari ini bukan waktunya.

Sabarlah, segala sesuatu ada saatnya.)


Pintu rumah dibuka. Menyambut suami pulang tak selamanya momen suka cita. Seperti hari ini. Memanglah kini bukan hari dari deretan waktu gembira rumah tangga. 

Nazima sangat memahaminya. Terbukti dari lisannya yang memilih diam. Hanyalah ia meraih tangan kanan sang suami, menaruhnya ke dahi, menjawab salam yang tak kalah pelan dari suara si pemberi.

Air wajah Nadhir menerjemahkannya dengan sangat tepat. Pria itu masuk lunglai, melepas sepatu, menaruh ransel sembarangan.

Tidak. Tak ada masalah dalam hubungan keduanya. Hanya saja, ini bukan waktu yang tepat untuk menyatakan rindu sepekan tak bersua, atau mengungkap cinta, terlebih menayangkan romantisme rumah tangga. Sebaliknya, segala musibah datang bertubi, kesedihan merajalela bak dedaunan musim gugur tertiup angin pancaroba. Menyebar. Menyerak. Mengotori sehalaman.

Nazima menuju dapur, membuat secangkir teh panas tanpa gula. Dikeluarkannya keripik singkong seharga lima ribu yang ia beli sore tadi, khusus untuk sang suami. Kudapan di dalam kaleng bekas biskuit itu semoga mengganjal perut di waktu makan malam hingga esok entah pukul berapa.

Semua terhidang di hadapan Nadhir. Namun kepulan harum tak menggerakkan sedikitpun posisinya bersila tanpa alas, bersandar dinding yang warna catnya telah pudar. Matanya terpejam lama, baru terbuka ketika jemari Naz menyentuh bahu kanannya. Sekedar menepuk pelan di sana, namun rasanya menderu hingga ruang terdalam kalbu.

Maka ketika tatap keduanya bertemu, Naz tahu, yang suaminya perlukan bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan sentuhan. Diraihnya jemari kanan sang suami, menaruhnya di pangkuan, mengeratnya, membelainya. 

Perlahan pria yang paling ia sayangi itu mengeluarkan serak, “Terlambat. Saat aku datang, ibu sudah terbujur kafan.”

Sebuah kalimat itu menjawab semuanya. Makin pelik dengan kalimat berikutnya. Nadhir melepaskan sentuhan ketika duka berubah menjadi amarah, “Andai kita masih punya mobil, Ay. Mungkin aku nggak akan terlambat. Mungkin aku masih bisa jumpa dengan ibu. Kita juga bisa pergi bersama. Persetan dengan kendaraan umum! Kereta sialan! Bus sialan!” 

Lihat selengkapnya