Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #2

Cerita Berawal

(Jiwa kita selalu menyukai maksiat. Haruslah melawan agar patuh pada syariat. Dan itu sebenar-benar jihad.)


Berkelintaran langkah Nazima, keluar masuk rumah berkali-kali. Jika menimbang luasnya hunian, tingkah Naz pastilah sangat melelahkan kaki. Namun ini adalah caranya meredakan kalut. Tak mengobati, namun setidaknya menghindarkan ia dari sakit perut. 

Digigitnya kuku jemari kanan. Jemari lainnya bersedekap meremas pinggang. Entah sudah berapa kali ia mengintip pintu gerbang, dan akan terus dilakukannya meski sosok yang ia harapkan belum juga datang.

Dilihatnya jam vintage besar di ruang tamu. Sebentar lagi waktu Ashar. Menurut prediksinya, Nadhir seharusnya sudah tiba di rumah, mengingat pria itu akan pulang dari kantor selepas istirahat siang. Namun perlu digaris bawahi bahwa ini sekedar prediksi manusia.

Lantang klakson kemudian mengejutkan wanita itu. Terburu-buru ia keluar rumah hingga ujung gamisnya terinjak dan tubuhnya hampir terjungkal. Syukurlah respon geraknya segera memegang lengan sofa empuk terdekat. Meski demikian, otak perlu waktu untuk kembali seimbang.

“Ibu ndak apa?” tanya Bibi Noor, bergegas ingin menolong. 

Gapapa, Bi. Tolong bukain pintu gerbang aja buat bapak,” sahut Naz pada asisten rumah tangganya. Wanita paruh baya itu kemudian setengah berlari menuju halaman depan. Gerbang panjang pun dibukanya dengan cekatan.

“Makasih, Bi,” senyum Naz disambut anggukan Bi Noor yang kembali menuju dapur. 

Naz mendekati mobil sport besar yang menempati spot parkir. Pengemudinya harus lihai agar spionnya tak menggores city car merah yang lebih dulu berada di posisi. 

Naz mematung, bersabar sedikit lagi sebelum bisa melihat paras sang suami. Bukan sekedar merindukan wajah itu, Naz hanya ingin memastikan garis dan warna apa yang tergores di sana. 

Saat lukisan tampan itu muncul dari pintu kemudi, Naz ternyata tak mampu mendeskripsikannya. Ada ukiran senyum di paras Nadhir, kelegaan di garis wajahnya, namun juga kekhawatiran yang jauh lebih besar dari bulatan mata.

Naz membalas senyum banyak makna itu, lalu menghambur segera ketika Nadhir membentangkan lengan kokohnya. Kini, Naz merasakan degup yang berirama pelan. Ada ketenteraman di sana. 

Nadhir melepaskan nafas singkat, “Akhirnya. Setelah galau berbulan-bulan.” Terdengar tawa nanar kecil. 

Naz menggeleng, melepas rengkuhannya pada kemeja putih rapi berdasi, mendongak menatap sayu wajah cintanya, “Bukan akhirnya, Mas, tapi justru ini awal baru bagi kita.”

Nadhir tersenyum lagi, dengan ukiran sedikit berbeda karena ada polesan harap di sana. “Kamu siap kalau nanti hidup susah, Ay?”

Lihat selengkapnya