Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #3

Makna Berat

(Memulai kebaikan sungguh sukar. Jalur surga memanglah penuh ‘belukar’.)


Rupanya, waktu lebih cepat mengungkap segalanya. Bahkan lebih cepat dari prediksi dan prasangka. Baru terhitung dua bulan sejak Nadhir mundur dari pekerjaan, namun rumah tangganya sudah mendengar guruh melihat kilat. Entah berapa hitungan lagi hingga hujan lebat.

Tabungan masih mampu mengatasi kebutuhan pokok harian. Namun sampai kapan? Puluhan CV ia kirimkan ke perusahaan. Namun belum nampak sedikitpun hilal panggilan. Nadhir mulai cemas. Nazima waswas, berusaha keras menekan pengeluaran.

Tumpukan kertas tagihan tinggal menunggu waktu sebelum semuanya diputus sepihak. Itu belum apa-apa dibanding tumpukan piring dan baju kotor yang membuat Naz harus tarik-ulur nafas setiap hari. Terpaksa ia melakukan pekerjaan rumah tangga yang tak pernah dilakoninya seumur hidup. Tentu membayar khadimat akan sangat menguras tabungan. Terpaksa Bi Noor dipulangkan.

Lalu, masalah terbesar yang mendominasi pikiran Nadhir ialah Surat Peringatan dari bank karena menunggak cicilan rumah dan kendaraan. Ia sudah menerima dua kali SP. Jika bulan depan tak juga membayar semua cicilan, termasuk denda, sudah pasti ia akan dipanggil pihak perbankan.

Handphone Nadhir berdering. Benar kan, bank tak ubahnya rentenir yang akan terus mengejar tunggakan. Dilihatnya layar, ada nama tak asing di sana. 

Nadhir menghela nafas sebelum mengangkatnya, “Hai Bro, what’s up? (...) Sampai sekarang belum ada kerjaan, Bro. (...) Ya, gue tahu, sekarang SP kedua ada di tangan gue. (...) Thanks banget kalau Lo bisa bantu. (...) Siap, besok gue ke bank. (...) Oke, thanks ya.”

Nadhir menyandarkan punggung ke sofa begitu mematikan sambungan. Nazima sempat mendengar percakapan itu dari taman depan.

“Siapa, Mas?” Tanya Naz membawa gembor ukuran kecil warna pastel. Belum seluruh tanah dalam pot tersiram basah. Namun Naz penasaran dengan obrolan suaminya.

“Dari bank. Biasa, nagih cicilan. Tadi Pram yang telpon,” ada raut tak suka saat menyebut nama itu. Naz segera menaruh alat penyiram tanaman dalam genggamannya, kemudian segera mendekat, duduk di samping suaminya.

“Pram rekan kerjamu? Dia bisa bantu?”

Nadhir mengangguk, kali ini perlu desahan lebih panjang, “Siapa sangka, bawahanku yang dulu sering aku omelin, sekarang nagih hutang dengan gaya bossy.”

"Sabar, sabar. Jadi, gimana, kita dapat keringanan?" 

"Bisa di-rescheduling, Ay. Mungkin kita dapat perpanjangan tenor dan grace periode," Nadhir menyebut penjadwalan ulang yang biasa pihak bank berikan untuk kredit macet. Dengannya, periode kredit atau tenor dapat diperpanjang. Juga, masa tenggang waktu pembayaran yang disebut grace periode itu bisa lebih lunak tanpa denda dan penalti.

"Syukurlah. Sembari tunggu kamu dapat job lagi, apa rencana terdekat kita?" Naz menanyakan hal yang terus saja mengganjal hati.

"Entahlah. Semoga bisa dapat kerjaan dalam waktu dekat. Plan-ku hanya mendapat pekerjaan baru."

Lihat selengkapnya