(Apa yang sebenarnya kita kejar? Harta atau bahagia? Sebab seharusnya, uang bukanlah tolak ukur kebahagiaan.)
Ada yang sayang dilewatkan di masa tiga hari lalu, ketika Nadhir dan Naz bercengkerama di antara keindahan Telaga Warna, dari ketinggian di sebuah lokasi bernama Batu Ratapan Angin. Bentangan alam yang disuguhkan sungguh menawan mata hingga enggan beralih pandang.
Panorama menampilkan telaga yang seluruh lengkungannya nampak sempurna sebab dilihat dari ketinggian. Saat itu, air telaga berwarna hijau. Seperti namanya, danau kecil tersebut memang kerap berubah warna.
Di sekeliling telaga, berbaris pohon lebat dengan ragam jenisnya, entah apa saja. Sekian jarak pandang pula terdapat Gunung Prau yang seakan berdiri gagah menatap birunya langit bercorak putih awan berarak. Sensori makin sempurna dengan kesejukan udara yang begitu melegakan dada. Sungguh, alam saja sudah cukup menggambarkan kehebatan Sang Pencipta.
“Indah banget,” seru Naz, merentangkan kedua tangannya, menghirup udara sejuk Dataran Tinggi Dieng. “Masya Allah,” serunya lagi. Ia tahu, perlu sebuah pujian untuk pencipta keindahan. Dialah yang jauh lebih indah dari segala keindahan.
Nadhir tersenyum. Pemandangan menakjubkan di hadapannya tetap saja meneduhkan, meski sudah paten di kepala sebab berkali-kali mengunjunginya sejak kecil. Tentu saja karena kota kelahirannya berjarak tak lebih dari satu kilometer dari sana.
“Tujuh tahun kita nikah, tapi kamu baru tahu tempat indah ini ya, Ay,” Nadhir berdiri tepat di samping istrinya.
“Kamunya sibuk, aku maklum.”
“Sibuk kejar dunia yang ternyata haram,” terdengar desahan di ujaran Nadhir. Sejauh apapun ia pergi, tetap saja pikiran tetap mengikuti. Senyumnya pudar memucat pasi.
“Tahu nggak Mas, kenapa telaga di sana itu bisa berubah warna?” Naz ingin mengembalikan mood suaminya.
“Ya karena kandungan belerangnya tinggi,” Pria itu justru menjawab serius, membuat Nazima beraut kecut. Ia kemudian geleng kepala seraya berkata,
“Karena, yang nggak berubah itu bukan Telaga Warna, tapi cintaku ke kamu.”
Nadhir mencibir. Entah berapa kali gombalan basi ia terima sejak di masjid kemarin sore. “Gombalanmu basi banget, Ay.”