(Rumah kita yang sebenarnya adalah Surga. Dulu, kita pernah terusir dari sana dan singgah di dunia. Kelak, jangan sampai terusir kali kedua. Sebab saat itu, dunia sudah tak lagi ada.)
Bangunan dengan dominan satu warna cerah terlihat begitu elegan. Lampu yang begitu terang menyebarkan cahaya di setiap dinding berhias lukisan. Sederet sofa ada di tengah dan sisi ruangan, warnanya sesuai tajuk papan besar di pintu masuk utama. Tanpa bertanya, orang-orang akan tahu ini sebuah setting ruang untuk melayani publik.
Dengan pintu dan jendela seluruhnya kaca besar lagi bersih, kantor itu memperlihatkan aktivitas karyawan berseragam sama, berwajah di atas rata-rata. Beberapa nampak duduk saja di antara deretan kubikel bernomor, ada pula yang bekerja dibalik meja lapang dengan kursi empuk. Terdapat pula dua orang satpam yang menjaga pintu masuk.
Nadhir memandang saja bangunan sibuk itu dari jendela mobil. Sungguh berat langkahnya untuk masuk ke sana dalam kondisi saat ini. Semua pegawai di kantor itu mengenalnya, termasuk satpam dan OB-nya. Tak sedikit dari mereka yang merasa sedih ketika Nadhir pamit tak lagi menjadi pimpinan mereka. Tak sedikit pula yang menyembunyikan kebahagiaan, termasuk dugaan, prasangka, hingga ghibahan.
Nafas dikeluarkannya panjang. Pria itu harus kembali ke tempat yang dulu ia datangi, di setiap hari kerja. Hanya saja kali ini, ia tak punya status apapun kecuali seorang yang berhutang. Lebih rinci, seorang yang menunggak cicilan.
Kembali, Nadhir mempersiapkan hati. Tak mudah menerima kenyataan bahwa ia tak lagi memiliki wibawa. Dalam sekejap seorang manajer berubah label nama. Bukan sebagai nasabah, melainkan sebagai gharim, ialah orang yang memiliki hutang. Maka untuk memasuki kantor di hadapannya itu, ia memerlukan lebih banyak legawa.
Teringat ucapan Naz pagi tadi, ketika mengantar Nadhir pergi. “Selalu ingat, Mas. Nggak usah peduli pandangan manusia, pedulikan saja bagaimana Allah memandang kita. Adapun Allah, hanya melihat hati kita, ketakwaan kita, bukan selainnya. Apa yang Mas lakukan sekarang ini, meninggalkan larangan-Nya, adalah sebuah ketakwaan.”
Nadhir mengedip, melepas nafas panjang lagi. Ia perlu kekuatan lebih. Diangkatnya kedua tangan, memohon apa yang kemarin ia panjatkan. Memang benar, doa adalah kekuatan terdahsyat yang hanya dimiliki seorang yang bersyahadat.
Terlintas kemudian sebuah memori kemarin seusai dua rakaat mutlaq. Begitu damai hati mendengar Naz melantunkan ayat suci. Nadhir kemudian mendapat ketenangan untuk berpikir jernih.
Ia tahu betul prosedur bank. Penyitaan mendadak bukanlah hal wajar. “Ay, kayaknya ini memang akal-akalan seseorang. Seharusnya, sekalipun kita nggak mampu bayar, ada jeda dari negosiasi kemarin. Ada jeda untuk kita menjual rumah ini.”
Naz menghentikan bacaan, mendekat suaminya, menyediakan telinga untuk mendengar pendapat. “Jadi?”
“Jadi seharusnya, kita bisa menjual rumah secara over kredit.”