Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #9

Sebuah Harapan

(Harapan seharusnya tak disematkan sedikit pun pada upaya. Sebab, tiada daya upaya kecuali berasal dari-Nya. Pada sumber segalanya berasal lah, harapan berlabuh semestinya.)


Lembaran bahan kulit asli diperiksa satu per satu. Detail cetakan eco-print diuji ketajaman warnanya. Sungguh cantik corak yang muncul dari dedaunan yang Naz petik dari taman kecilnya. Wanita itu tersenyum, cukup puas dengan pewarnaan alami yang muncul dari daun kenanga.

Proses cetak eco-print pada kain sungguh menarik. Pewarnanya alami dari tanin daun yang menghasilkan motif beragam pada kain. Teknisnya, dedaunan dan kain direndam, lalu dicetak satu per satu, didiamkan, hingga dikukus dan dijemur. Proses panjang itu terbayar sudah dengan hasil corak yang artistik lagi cantik dipandang mata, terutama oleh wanita. 

Meski memerlukan kesabaran saat membuatnya, Naz sungguh menikmatinya. Inilah sebenar-benar makna passion. Ialah menikmati apa yang diminati, tak peduli letih. Inilah sebetul-betul makna renjana. Adalah tak bosan melakukannya dalam jangka waktu yang panjang.

Usai menoreh corak alami pada bahan, perempuan terampil itu hanya perlu membuat pola tas dan menjahitnya. Hal ini, bagi Naz, cukup mudah dilakukan. Hanya perlu keuletan dan ketelatenan.

Nadhir begitu terpana, atau bahkan terpesona, melihat kreasi istrinya. Rahangnya sampai terbuka seakan tak habis-habis mengatakan wah. 

“Keren, Ay,” serunya kemudian.

Naz hanya tertawa kecil, memuji yang seharusnya berlabuh segala pujian, “Alhamdulillah kalau bagus. Masya Allah, Tabarakallah.”

Lalu di sela fokus pada mesin jahit di hadapan, Naz teringat sesuatu yang terabaikan karena kesibukan produksi tas siang malam, 

“Mas, rumah gimana kabar? Sudah ada yang tertarik?” 

Nadhir meletakkan bahan kulit yang sedari tadi ia pandangi. Seringan angin ia menjawab seakan tanpa beban, “Belum diiklanin.”

Gerakan mesin terhenti, “Loh?”

“Sejak kamu berencana bisnis tas ini, aku yakin akan ada pemasukan. Kalau ada uang masuk, kita bisa lanjut bayar cicilan.”

Naz terkejut dengan perubahan rencana suaminya, “Cicilan riba, Mas.”

Nadhir terdiam sejenak, tanda benarnya ucapan Naz. Namun ia mengutarakan tekadnya, “Kalau bisnis ini besar, hutang bisa langsung kita lunasi. Kita akan bebas riba sepenuhnya.”

“Kalau dan jika hanya kalimat perandaian.”

Lihat selengkapnya