(Kita sering lupa. Dunia itu fana, akhirat lah yang selamanya)
Nadhir mematung menatap dua orang tengah memasang spanduk penyitaan. Tertulis persis seperti kain rentang beberapa bulan silam. Ketika melihat salah satunya adalah Pram, Nadhir pun naik pitam.
“Mau Lo apa sih Pram?! Nggak nyerah juga sita rumah gue, hah?!” Nadhir menarik lengan kemeja seorang pria tambun yang tersenyum sinis ke arahnya.
Pria berkumis itu lalu menyingkirkan tangan Nadhir, menyerahkan kasar lembaran putih ke hadapan pria yang lebih tinggi darinya, “Kali ini Lo nggak bisa nyangkal, Nad. Nih surat, Lo baca baik-baik!”
Nadhir menarik keras lembaran itu, lalu terkejut begitu membacanya.
Pria bernama Pram itu kembali menaringkan senyum, “Time's up!”
“Harusnya tiga bulan, kenapa jadi 10 pekan?!” suara Nadhir meninggi, membuat para ibu yang berkerumun menjadi takut dan memilih pulang ke rumah masing-masing.
“Makanya baca baik-baik! Besok gue kesini lagi buat ambil kunci dan semua sertifikat,” Pram dengan santainya bicara, lalu mengajak rekannya kembali ke kantor.
Nadhir mencegat keduanya, menarik dasi Pram dan meninjunya tepat di pipi kiri. Nazima refleks berteriak. Berlari ia menahan tubuh suaminya sekuat tenaga, melerai pertikaian. “Mas, sabar, sabar. Ingat dosa. Kita dilarang melukai orang lain, terlebih sesama muslim.”
Namun Nadhir kepalang emosi, ia menyingkirkan tubuh Naz dan memukul Pram kali kedua, bahkan menghalau tubuh rekan Pram pula yang berusaha menengahi.
“Keren banget ya Lo! Udah jabat manajer pengganti gue, bisa-bisanya turun tangan sendiri ke sini. Lo seneng banget ya lihat gue jatuh!” Nadhir mendorong kasar dada Pram hingga limbung.
Namun pria itu cukup kuat untuk bangkit dan melawan. Ia tak membalas pukulan Nadhir namun lisannya terus saja bicara, “Sama kaya Lo dulu jatuhin gue di kantor! Lo bisa naik jabatan juga karena main belakang, kan! Dasar penjilat!” Sungguh, pria itu perlu tahu bahwa terkadang, kata-kata jauh lebih keras menghantam daripada pukulan tangan.
Makin puncak amarah Nadhir mendengarnya. Ia bukan tipikal membalas hinaan dengan hal yang sama. Terlebih, hinaan itu tak benar adanya, hanyalah tuduhan dari seorang pendengki. Bagi Nadhir, balasan adalah dengan kembali melakukan serangan.
Dikepal lagi tangannya bulat-bulat, bersiap meninju lebih keras dari sebelumnya. Namun begitu dilayangkan, justru Nazima mencegat tiba-tiba hingga kepalan Nadhir mendarat di pipi lembut wanita itu. Cairan merah keluar dari bibir si jelita. Naz tersungkur merata tanah. Nadhir memucat, tak seharusnya ia memukul sang istri, terlebih di wajahnya. Dosa besar.
“Ay, kamu gapapa?” ujarnya, panik, menopang tubuh Naz.
“Mas, cukup, Mas. Jangan pukul dia lagi. Istighfar, Mas,” pelan Naz berkata sembari menahan sakit. Nadhir segera mengambil sapu tangan di saku dan mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir hingga ke dagu lancip istrinya.
Melihat suami istri itu, Pram justru terkekeh. Ia segera pergi bersama rekannya. “Lo punya waktu tiga hari buat kosongin rumah ini!” teriaknya sebelum benar-benar pergi melajukan mobil.
Nadhir terdiam, merasa bersalah melihat wajah Naz yang nampak kesakitan. “Kita ke rumah sakit, Ay,” diangkatnya tubuh Naz, merengkuh tengkuk dan lutut istrinya.