Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #13

Lapang Bukan Ukuran

(Lapang bukanlah ukuran secara dzahir, melainkan kenyamanan secara batin.)


Dilihatnya bangunan panjang dengan deretan pintu. Ada sekat tembok rendah di antaranya. Setiap petak terdiri dari satu pintu dua jendela, ukurannya sekitar tiga meter saja. Saat pertama kali melihatnya, Naz teringat kos saat kuliah dulu.

Namun ini bukan kos-kosan, melainkan rumah petakan yang dihuni keluarga. Ya, keluarga. Ada bapak, ibu, dan anak entah berapa. Naz tak bisa menebaknya, yang jelas, indranya menangkap keramaian anak-anak di halaman depan.

Jangan tanyakan berapa kamarnya. Rumah petak panjang ini hanya bersekat empat. Begitu masuk ada ruang depan, lalu ruang tengah yang mungkin bisa jadi kamar tidur, kemudian sekat terakhir dibagi dua antara kamar mandi dan dapur. Semuanya memanjang hanya dalam ukuran sekitar delapan meter.

Jangan bandingkan pula dengan rumah Nadhir dan Naz yang dulu. Bahkan secara ukuran, hanya beda tipis dengan carport dua mobil milik keduanya. Namun Naz mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak mencampuradukkan logika dengan hati. Sejatinya, lapang bukanlah ukuran secara dzahir, melainkan kenyamanan secara batin.

Nazima membuka pintu salah satu petak. Kuncinya sempat macet, Nadhir mengambil alih kemudian. Keduanya saling pandang, lalu melempar senyum bermakna ketegaran. Nadhir menyapu bahu istrinya, mendekatkan ke sisi tubuhnya. “Kalau kamu keberatan, kita bisa cari tempat yang lebih lapang.”

Naz menggeleng, mendongakkan kepala agar dapat menatap wajah suaminya, “Ini cukup untuk tempat tinggal, Mas. Alhamdulillah kita masih bisa sewa rumah.”

Wanita itu tersenyum setulus mungkin, menampilkan kerelaan hati sepenuhnya agar beban suami tak bertambah lebih berat lagi. Nadhir nampak lega, sungguh besar rasa syukur memiliki Naz sebagai istri.

Keduanya lalu menghela nafas bersamaan ketika disambut tumpukan barang di ruang depan. Mereka buru-buru pindah karena diberi waktu tiga hari saja. Itupun dikurangi satu hari untuk memilah dan menjual sebagian besar barang.

Sofa sudah jelas tak ikut serta. Di rumah petakan ini, cukuplah karpet atau tikar untuk alas ruang depan. Meja kursi hanya akan mempersempit ruangan. Pun hiasan, lukisan, meja makan, meja kerja, kitchen set, lemari, rak buku, dan masih banyak lagi yang direlakan Naz dan Nadhir. Keduanya hanya menyisakan pakaian seperlunya, buku yang penting saja, tas dagangan, mesin jahit, peralatan tidur dan mandi, perlengkapan masak, dan barang wajib lainnya. 

Jika ada barang besar yang dibawa serta, maka itu hanyalah kulkas dan mesin cuci. Naz tak sanggup jika kehilangan dua alat elektronik tersebut. Meski saat dipindahkan, kedua alat nampak ganjil karena memenuhi seluruh ruang dapur yang super kecil. Alhasil, Naz memindahkan kulkas empat pintunya ke ruang sekat depan. 

“Beberes bareng?” tanya Nadhir, berlagak dengan melipat lengan kemejanya. Nazima tersimpul dan mengangguk mantap.

Lihat selengkapnya