(Jangan tertipu penyesalan duniawi. Bukanlah ‘mengapa tak bekerja lebih giat lagi’. Tanyalah ‘mengapa tak memberi lebih banyak lagi’)
Hembusan angin seakan menusuk hingga belulang. Hanyalah tiupan kecil yang ditantang kendaraan roda dua. Namun bagi Nadhir dan Nazima yang tak terbiasa, itu sudah cukup membuat mereka kedinginan. Belum lagi terik mentari yang terasa menyengat di tengah hari. Seakan panasnya menembus helm hingga ubun. Dalam kondisi seperti ini, panas dan dingin menjadi perpaduan yang tak lagi mustahil.
“Istirahat di sini dulu yuk,” Nadhir menghentikan motor di depan halte kosong lagi sepi. Jika dilihat dari kondisinya yang tak terawat, bangunan itu sudah beralih fungsi menjadi lapak pedagang asongan dan kaki lima.
Nadhir hendak mengeluarkan uang untuk membeli sebotol minuman. Namun Naz menahannya, lalu memberikan sebotol air minum yang ia bawa dari rumah. Pria itu mengalah. Mengabaikan keinginannya untuk meneguk minuman dingin lagi manis.
Deru jalanan menyisakan banyak debu. Naz sesekali menutup hidungnya dengan kerudung. Nadhir berjongkok mematung. Dilihatnya bungkusan besar di bagian depan motor matic-nya. “Sudah hampir sebulan, Ay. Nggak ada satu pun tas yang laku.”
Nazima bungkam. Kali ini ia pun kehabisan kata. Penyebabnya adalah kekecewaan yang mampir di kalbunya. Ia mencoba berpikir jernih. Bukan hal mudah mengembalikan energi, terlebih menumbuhkan emosi positif. Ia memilih duduk di atas tanah, di samping Nadhir, dibawah naungan halte kotor.
Nadhir melempar kerikil yang ada di dekatnya, “Coba pikir, apa yang salah sama tas buatanmu?! Tas-tas itu bagus, cantik, bahkan menurutku setara kualitas ekspor. Bisa-bisanya orang nggak mau beli gara-gara brand lah, mahal lah, apa lah. Padahal harganya sudah kita turunin cuma balik modal. Sungguh terlalu!”
Tiba-tiba hati Naz terketuk. Kata-kata suaminya menyadarkan satu hal. Ia segera beristighfar berkali-kali. Menahan dadanya dengan jemari. Nadhir sampai kebingungan melihatnya.
“Kamu kenapa, Ay?”
“Mas, selama ini, kita salah menggantungkan harap.”
Nadhir makin tak mengerti, “Maksudmu?”
“Tanpa sadar, ada rasa harap kita yang digantungkan pada keunggulan produk. Kita lupa, sebagus apapun produk itu, tak akan laku tanpa Allah yang menghadirkan pembeli. Seburuk apapun produk itu, akan tetap laku jika Allah yang menghendaki. Selama ini, kita salah menggantungkan harapan hati.”