(Pemberian terbaik yakni; Memberikan apa yang sangat kamu sukai.)
Direntangkannya selembar kain berserat tebal. Sehelai katun yang kekuatannya setara denim. Kata ibunda, itu disebut kanvas. Naz langsung jatuh cinta dan ingin belajar membuat tas dari bahan tersebut.
Ini bukan momen pertama kali Naz belajar. Ia sudah familiar dengan mesin jahit sejak belia. Ini adalah titik mulanya mencintai apa yang ibunda ajarkan. Di suatu pagi, Naz berkata ingin memproduksi tas dan menjualnya pada teman-teman di sekolah. SMA tingkat pertama, Naz duduk kala itu.
Ibunda tersenyum gembira. Berharap putrinya dapat mewariskan bisnis keluarga, tanpa paksaan, sepenuhnya rela. Sebagai satu-satunya pewaris industri kerajinan kulit terbesar di Makassar, bahkan sepuluh besar tanah air, Nazima pastilah terbebani. Itu yang ibunda pikirkan.
Mekar senyum bunda, bersemi garis wajahnya. Wanita anggun itu lalu mengambil selembar bahan kulit yang telah siap jahit. Namun belum berkata sepatah kata, segera saja putrinya bereaksi,
“Loh, Bu. Naz maunya tas kanvas, bukan tas kulit. Mana ada anak muda yang pakai tas kulit, Bu,” protes Naz.
“Kamu lihat dulu, Sayang,” singkat ibunda bersuara, lalu mengambil sebuah sling bag dari ruang penyimpanan. “Lihat!” ujarnya, menenteng sebuah tas denim berpadu kulit asli. Bagian kulit ada di bagian penutup dan tali selempangnya. Ditambah motif dedaunan, sempurnalah tas itu di mata Naz.
“Bagusnya! Naz mau bikin kaya gitu. Ini motifnya darimana? Kulitnya bagian mana saja? Warnanya kok bisa cantik gini ya, Bu?” remaji itu membolak-balikkan tas yang ibunda bawa. Matanya seakan pelita yang baru saja ditambah daya. Sang ibu hanya terkekeh melihatnya.
“Tanya satu-satu, Sayang. Mulai besok kita belajar dulu bikin motifnya. Ini namanya ecoprint, dari dedaunan asli.”
Berbinar Nazima mengangguk keras. Hari-hari berikutnya, ia sibuk belajar pada bunda. Tak terhitung berapa kali gagal. Namun Naz tak menyerah. Ibunda juga sabar mengajar.
Hingga sebulan pun berlalu. Kain bermotif cantik telah siap. Nazima lulus membuat ecoprint dengan brilian. Bunda kini hanya perlu mengajarkan pola dan memotongnya. Sebab untuk urusan menjahit, Naz tak perlu belajar lagi.
“Besok kita bisa mulai jahit ya, Bu?” tanyanya girang.
Ibunda mengangguk sangat lemah. Pandangannya sayu, namun masih ada binar kebahagiaan melihat putri semata wayangnya. “Insya Allah,” jawabnya.
Namun esok hari yang direncanakan itu tak pernah ada. Menjelang subuh, ibunda ditemukan pingsan dalam sujud tahajudnya. Segera saja ayah dan Naz membawa ibu ke rumah sakit. Sejak hari itu hingga berbulan-bulan lamanya, bunda terbujur sakit. Sungguh Naz tak mengerti mengapa ibunda merahasiakan penyakitnya. Setelah kanker itu mengganas, barulah Naz dan ayahanda mengetahuinya.
“Ibu punya alasan, dan ibu selalu berobat jalan,” ujar bunda dengan suara sangat pelan. Menahan sakit tentu membuat lisan sulit bergerak.
Naz tak masalah. Apapun yang terjadi, ia tetap mencintai ibunda. Setiap hari, sepulang sekolah, ia akan pergi ke rumah sakit. Malamnya, gantian ayah yang menjaga ibu.