Besok Saja Kita Bahagia

Hani Abla
Chapter #16

Langkah Berikutnya

(Kita tak pernah tahu dari pintu mana rezeki terbuka. Bisa jadi, pintu itu adalah hal yang tak pernah kita duga dan tak pernah kita suka. Namun lagi-lagi, rasa ‘suka’ dan ‘tidak suka’ kita selalu berlandaskan emosi semata, bukan karena lillahi ta’ala.)


Tak ada yang membenci senja. Keindahannya membuat semua orang jatuh cinta. Warnanya mustahil dicampurkan dalam pallet, digoreskan oleh kuas. Sekalipun mirip, tak setara keindahan aslinya. Tapi cukuplah untuk membawa keindahan itu dalam figura.

Nazima teringat sebuah lukisan senja milik ayahanda. Sebuah danau yang tenang, diarungi perahu kecil dan seorang berlayar di atasnya. Perahu itu seakan menembus langit merah penuh gumpalan awan. 

Pemandangan itu ada di hadapannya kini, kecuali perahu yang tak ada di sana. Naz terus memandangnya, sejauh motor Nadhir melewati tepiannya yang sejatinya jauh dari garis tepi danau berwarna hijau.

Lukisan alam saat ini begitu mewakili perasaan Naz. Kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, masih bertahan di relungnya sejak peristiwa di panti. Sungguh Naz baru memahami, bahwa memberi berdampak ajaib seperti ini. Lebih rinci, memberi barang yang disukai, kecewanya tak sebanding dengan rasa yang membuat hati beristirahat dari hiruk pikuk duniawi.

Keindahan itu tak lekang dalam manik meski telah berlalu jarak dan kini Nadhir berhenti di sebuah lapangan luas. Tak jauh dari ketenangan danau itu, keramaian menjadi pemandangan tak terelakkan di sana. Ialah sebuah lahan yang cukup lapang untuk bermain bola, sedikit lebih kecil dari alun-alun kota.

Nazima bertanya-tanya, sebab ini bukan rencana tujuan. “Nggak langsung pulang, Mas?”

“Makan dulu, yuk. Laper,” Kata-kata Nadhir membuat perut Naz bereaksi. Benar, ia dan suaminya belum makan sejak pagi, kecuali sepotong roti. Itu pun dibagi untuk berdua.

Nadhir menunjuk deretan gerobak kaki lima di sisi lapangan yang dipenuhi keramaian. Beragam penjaja makanan berlaras ragam aktivitas manusia di sana. Sore hari menjadi aktivitas menyenangkan untuk anak-anak bermain, juga tim kecil futsal untuk bertanding, beberapa bapak jogging berkeliling. Ibu-ibu mengajak bayi sambil menyuapi, atau berlarian mengejar balita yang enggan berhenti.

“Mie ayam atau mie yamin?” seru Nadhir, berdiri dekat gerobak warna biru dipenuhi deretan botol berwarna merah. Asap mengepul ketika penjual membuka tutup panci besar dan menyeruak lah aroma mie dan caisim yang direbus matang.

Belum Naz menjawab, Nadhir sudah berhasil menebaknya, “Yamin kan pasti.”

Naz mengangguk. Sebetulnya, tak banyak perbedaan antara mie ayam dan mie yamin. Pun Naz baru mengetahui istilah yamin setelah pindah ke ibu kota. Nadhir lebih suka yamin yang berwarna kecokelatan karena kecap, juga kering tanpa kuah. Naz hanya ikut-ikutan saja.

Wanita itu pun kemudian duduk di kursi plastik tanpa meja. Sepertinya pedagang mie hanya singgah dan tak berjualan tetap di lapangan ini. Bisa dipahami, suasana di sekitar Naz sangat ramai. Sudah pasti pedagang keliling akan memilih berhenti sejenak di sini, tak perlu berjalan jauh pun sudah didatangi pembeli.

“Baru tahu kalau di sini ramai,” Nadhir mengambil kursi dan menaruhnya dekat Naz. Ia duduk di sana, mengikuti Naz menghadap lapangan yang luas.

“Ini dekat kontrakan kita ya, Mas?” masalah jalan, Naz tak banyak tahu.

Lihat selengkapnya