Freya melakukan penganiayaan katanya.
Seorang siswi mendapatkan luka empat jahitan di keningnya karena terkena lemparan pas bunga. mereka bilang pelakunya adalah Freya.
Katanya, hari itu semua berjalan seperti biasa. Sebelum akhirnya seorang siswa berlarian menuju ruang guru dengan wajah yang pucat pasi. Memberitahukan orang-orang itu jika dikelasnya terjadi perkelahian yang melibatkan dua orang siswa perempuan.
Semua guru tak pernah menyangka jika seseorang yang duduk bersimpuh di depan temannya itu adalah Freya. Gadis dengan nilai yang selalu masuk rangking pararel setiap tahunnya.
Ya, tidak ada yang percaya, termasuk Rayan yang menatap kosong ke arah sepasang suami istri di depannya. Mereka tampak marah dan berkali-kali menunjuk-nunjuk hidung Rayan dengan penuh emosi.
“Apa Anda tidak bisa mendidik adik Anda dengan benar. Percuma otak cerdas tapi tidak memiliki attitude yang baik.”
Dunia Rayan seakan berputar. Ia merasakan jika semua yang ada di sana berubah menjadi bayang-bayang hitam yang siap menerkamnya.
Tatapan itu, cacian yang mereka ucapkan, semuanya masuk dan terperangkap dalam ingatan Rayan. Membuatnya sulit bernapas ketika mereka mulai berlari-lari liar di dalam sana.
“Saya minta maaf, Pak, Bu.” Rayan berkata seraya menahan tangannya yang bergetar di bawah meja. “Saya siap bertanggung jawab dan tidak akan ikut campur dengan sanksi yang akan diberikan kepada Freya. Selebihnya saya akan…”
Pra itu berhenti sejenak sebelum untuk menetralkan suaranya yang mulai bergetar. Kerongkongannya pun tiba-tiba terasa sakit, seolah ada sebuah bongkahan kayu besar di sana yang menyumbat jalan bicaranya.
“… saya akan mendidik Freya lebih baik lagi.”
“Nak Rayan, kami tahu jika kalian baru saja kehilangan. Freya pasti sangat terpukul karenanya. Tapi itu tidak bisa jadi alasan kami untuk tidak memberikan hukuman.” Seorang wanita paruh baya yang menjembatani diskusi panjang ini menatap Rayan dengan lembut. Ia adalah wanita yang tadi menghubunginya, wali kelas Freya.
“Saya mengerti, Bu. Sudah menjadi kewajiban sekolah untuk memberi hukuman kepada adik saya.”
Wanita mengangguk, sementara sepasang suami istri tadi hanya mematai Rayan dengan tatapan yang sulit diartikan. Rayan terlalu malas untuk membaca maksud mereka.
Pertemuan berakhir dengan kata damai. Sudah bisa dipastikan jika Freya akan mendapatkan hukuman cukup berat, sementara Rayan harus mengganti perawatan Lian, siswa yang terluka itu.
Sebuah kata maaf terucap begitu tulus dari Rayan untuk kedua orang tua Lian. Dan ajaibnya, pasangan itu tak lagi bertindak seperti di awal pertemuan mereka. Keduanya dengan suka rela menyambut uluran tangan Rayan ketika hendak meninggalkan ruangan guru.
Setelah melihat kedua orang itu menghilang di balik koridor, Rayan pun melangkah menuju UKS, tempat yang ditunjukkan ali kelas ketika ia bertanya di mana Freya berada.
Kaki Rayan terasa semakin berat dari langkah ke langkah. Ruangan yang ia tuju pun sudah ada di depan mata, tapi seolah ditahan oleh badai, Rayan berhenti dan mematai pintunya dalam diam.
Rasanya melangkah ke dalam sana lebih menakutkan dari pada ketika ia masuk ke dalam ruangan guru. Namun belum juga ia sempat menetralkan emosinya, pintu ruangan itu terbuka. Freya datang dengan seorang siswa lelaki di sebelahnya.
Rayan tertegun. Sudut bibir adiknya berdarah, di pipinya terdapat luka kecil seperti bekas cakaran. Hal itu kembali membuat Rayan berpikir, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua bisa seperti ini?