Luka itu akan sembuh dengan waktu. Tidak, luka hanya akan sembuh jika kau mau.
***
Orang-orang bilang jika semua yang terjadi itu butuh proses. Setiap perubahan hanya perlu adaptasi untuk membuatnya kembali menjadi sebuah kebiasaan.
Ya, benar. Tapi mereka pun harusnya tahu berapa sulitnya proses adaptasi itu.
Rayan terbiasa menyantap sarapan pagi yang ibunya buat. Entah itu sebuah telur mata sapi atau mungkin semangkuk sereal jika memang tak ada banyak waktu yang tersedia untuk ritual pagi tersebut. Intinya tetap sama, mereka akan duduk bersama di meja makan dan membicarakan apa-apa saja yang akan dilakukan hari itu.
Namun sudah dua minggu lamanya Rayan tidak melakukan hal itu lagi.
Ia yang terbiasa bangun pagi pun tiak lagi bisa melakukan hal yang sama ketika seseorang yang akan menyambutnya di depan pintu dapur kini telah tiada.
Hari demi hari di dua minggu ini adalah masa adaptasinya yang menyakitkan dan hal itu semakin terasa ketika ia harus menahannya sendirian.
Rayan tentu saja masih merasa kehilangan, hanya saja ia tak ingin membuat Freaya semakin tertekan dengan kesedihannya.
Gadis itu memang tak pernah bicara, hanya saja matanya tak bisa berbohong. Lagi pula tak pernah ada yang gagal membaca perasaan seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Mereka bagai buku romace remaja yang terbuka lebar-lebar halaman akhirnya.
Rayan tidak mau adik satu-satunya itu terlalu larut dalam kesedihan. Maka ia sebisa mungkin membuat suasana seperti sedia kala.
Pria itu belajar memasak.
Seumur hidup, riwayat masakan Rayan yang berhasil hanya bisa dihitung dengan jari. Itu pun kebanyakan karena bantuan Ibunya.Tapi sekarang ia harus menguasai hal-hal itu agar kebutuhannya dan Freya terpenuhi.
Jangan tanya berapa banyak telur yang pecah, tepung yang tumpah atau bahan masakan yang musnah. Rayan sampai berpikir jika memang ia tidak dilahirkan untuk memasak karena terlalu banyaknya kegagalan yang diterima.
Bahan-bahan itu jelas tidak sempat Rayan berikan hasilnya kepada Freya. Ia tak mau ambil risiko dengan memberikan makanan tak layak. Salah-salah, Freya bisa terdampar di rumah sakit.
“Makan, Yan!”
Rayan yang tengah fokus memeriksa hasil berita mengangkat kepalanya ketika seseorang duduk tepat di depan mejanya.
Itu Hanny. Dia duduk santai dengan kemeja flannel dan celana jeans. Setahu Rayan, ia baru pulang liputan, menemani anak magang yang baru pertama kali terjun ke lapangan. Itu yang Rayan tahu dari Tana saat ia melihat Hanny keluar dengan seorang lelaki muda dan fotografer mereka tadi siang.
“Nanti Han, aku masih ada kerjaan.”
“Jam makan siang udah mau habis lho Yan. Nanti malah enggak bisa makan.”
Rayan menggaruk pelipis dan melepas kaca mata yang sedari tadi bertengger di atas tulang hidungnya. Seketika pandangan pria itu mengabur. Wajah Hanny yang tak memakan banyak jarak pun terlihat buram.