Kamar Freya tidak segirli milik remaja putri lainnya.
Di dinding kamarnya tak ada poster idol atau aktor-aktor tampan yang sedang digandrungi di luar sana. Di sana hanya ada beberapa poster band jaman dulu dan sebuah gambar Nelson Mandela, seorang pejuang kulit hitam sekaligus mantan presiden Afrika Selatan yang paling berpengaruh di masanya.
Sepertinya hal itu tak terlalu umum untuk seorang gadis sepertinya. Tapi itulah Freya, dia mencintai dunianya sendiri.
Pemandangan itu tak pernah berubah dari waktu ke waktu.
Rayan intar betul jika gambar itu ayahnya dapatkan dari seorang kenalan bisnisnya. Katanya, Nelson Mandela adalah seorang negarawan ulung, pemberantas kemiskinan juga pejuang HAM.
Malam itu ayah seperti penyambung lidah antara rekan bisnis dan keluarganya. Ia berkisah bagaimana hebatnya orang yang ada gambar itu dan tanpa di duga-duga Freya tertarik.
Rayan bahkan tak akan pernah lupa bagaimana sengitnya perebutan gambar itu terjadi di antara mereka berdua, ia dan Freya. Namun karena saat itu Rayan kalah main kertas gunting batu, akhirnya Freya dapat membawa gambar tersebut masuk ke kamarnya.
Dan siapa yang mengira jika sampai sekarang Freya masih menyimpan gambar tersebut.
Selain gambar itu, Rayan juga mendapati beberapa pigura di sana. Ada foto ketika Freya masih kecil, foto wisuda TK miliknya juga foto wisuda Rayan.
Ruangan itu memang tak terlalu besar, lebih kecil dari kamar Rayan sendiri. Tapi entah kenapa suasana hangat bisa Rayan rasakan begitu ia menginjakkan kakinya di sana. Apa lagi ketika ia melihat deretan piala di dekat meja belajar Freya.
Oh, Rayan baru sadar jika adiknya ini bahkan memiliki sertifikat lomba lebih banyak dari yang ia punya.
Freya sendiri sekarang sedang terlelap. Wajar, ini sudah pukul sebelas malam.
Rayan pun baru pulang dari kantor. Ia yang hanya izin sebentar akhirnya harus kembali saat makan siang usai.
Jangan tanya bagaimana keadaannya. Ia yang sedang dalam emosi tak stabil memang tak dianjurkan untuk bekerja dengan orang lain. Salah-salah nasib orang-orang akan sama seperti Albi, habis dimarahi hanya karena kesalahan sepele seperti tanda baca.
Tapi syukurlah, pria dengan rambut kecokelatan itu mengerti dengan keadaannya. Ia hanya menagih sepiring nasi goreng sebagai kompensasi kemarahan Rayan yang agak berlebihan itu.
Rayan awalnya tak ingin bertemu dengan Freya terlebih dahulu. Namun saat ia sadar jika makanan yang ia pesankan dari kantor untuk adiknya itu tidak disentuh sama sekali, Rayan pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Freya dengan sepiring mie pangsit yang telah ia hangatkan.
Tapi lihatlah, anak itu malah sudah tertidur.
Rayan duduk di ujung ranjang Freya. Ia mematai adiknya itu dengan tatapan bersalah yang sangat besar.
Tanpa sadar, tangan Rayan mulai berani menyentuh wajah Freya yang tengah terlelap. Sudut bibirnya yang berdarah kini mulai mengering dan menyisakan sebuah lebam keunguan di sekitarnya. Begitu pula dengan bekas cakaran di pipinya yang semakin kemerahan.
“Kenapa sih bisa sampai seperti ini?” gumam Rayan. Ia lalu memutuskan untuk mencari kotak P3K di luar kamar Freya dan kembali setelah mendapatkannya.