“Bagaimana kalau di rumah Rayan?”
Jemari lentik itu menunjuk langsung ke hidungku yang masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.
“Rumahku?”
Dengan bodohnya aku menunjuk diriku sendiri. Dirinya tersenyum dan mengangguk dengan semangat. Membuatku dengan cepat menunduk berpura-pura membenarkan kacamata.
“Kita sudah kerja kelompok di rumah Sadam, rumahku dan rumah Cella. Tinggal rumah Rayan yang belum.”
Orang-orang di sekitarku membenarkan seolah apa yang Hanny katakan adalah sebuah ide yang bagus. Sementara aku yang di tunjuk seolah kehilangan kata-kata.
Senyum Hanny saat itu benar-benar membuat seluruh kemampuanmu dalam berpikir tersedot habis. Bayangkan saja, satu kelompok dengannya saja sudah membuatku ingin lompat dari atap sekolah saking senangnya. Apa lagi jika ia nanti mengunjungi rumahku.
Bagaimana reaksi Ibu ketika gadis yang selalu aku ceritakan akhirnya bisa ia temui.
Ibu tidak akan macam-macam, kan?
“Bagaimana, Rayan setuju?”
“Emm, itu... ”
“Sepertinya Rayan tidak mau.”
Aku tersentak. Di sampingku Sadam menatap lurus ke arah Hanny dan Cella.
Sungguh, aku hanya terkejut dengan permintaan Hanny, bukannya tidak suka. Tapi kenapa mereka malah salah sangka? Apa wajahku menunjukkan ketidaksukaan?
Kini giliran Hanny yang menatapku. Matanya yang bulat benar-benar membuatku mabuk. Ia menyelipkan anak rambutnya ke samping telinga, bibirnya melengkung. Mungkin ia kecewa.
“Tidak apa-apa kalau Rayan tidak mau. Kita kerja kelompoknya di rumahku saja.”
Hanny mengatakannya dengan sebuah senyum lembut. Namun entah kenapa aku masih bisa melihat kilatan kecewa dari matanya. Sayangnya saat itu adalah saat di mana aku masih belum berani bicara terlalu jauh. Aku yang bodoh hanya mengiyakan apa pun yang orang utarakan tanpa perlawanan.
***
Katanya, masa SMA adalah masa di mana bunga mekar dan menunjukkan keindahannya.