Rayan bangun dengan desisan pelan. Kemarin ia harus lembur karena ada beberapa wartawan yang terlambat mengumpulkan berita, hingga membuatnya begadang dan pulang sangat terlambat.
Itu bukanlah sesuatu yang berat sesungguhnya, ia sudah sering melakukannya. Namun mungkin karena banyaknya pikiran yang ia tanggung akhir-akhir ini, Rayan merasakan tubuhnya mulai memberontak.
Punggungnya ngilu, lengan bagian atasnya terasa sakit ketika digerakkan. Sementara kepalanya sedikit pusing.
Pria itu tengah duduk lebih lama di pinggir ranjangnya ketika suara ketukkan terdengar dari luar kamarnya.
Alis Rayan menukik. Di rumahnya hanya ada ia dan Freya. Tidak mungkin kan, anak itu mengetuk pintunya sepagi ini. Rayan sendiri bahkan ragu jika Freya akan sudi mengetuk pintunya setelah rentetan kejadian yang menimpa Merek akhir-akhir ini.
Dengan langkah yang terseok-seok, Rayan berjalan ke arah pintu. Ia berpikir sekali lagi soal siapa yang mengetuk pintunya. Namun karena merasa sia-sia, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk membuka pintunya.
“K-Kak…”
Baik Rayan atau pun seseorang di balik pintunya sama-sama membuat ekspresi yang percis satu sama lain ketika pintu terbuka.
Di sana, di balik pintu kamar Rayan melihat Freya berdiri canggung. Ia masih menggunakan piama jerapah, sandal kamar dan rambut panjang yang di ikat cepol. Sepertinya anak ini juga baru bangun, pikir Rayan.
“Ada apa?” tanya Rayan, suaranya sedikit serak, namun bisa di pastikan jika Freya bisa mendengarnya.
“Itu, emm kemarin Kak Hanny bilang aku boleh ke kantor Kakak, apa itu benar?”
Kali ini, hanya sebelah alis Rayan saja yang bereaksi. Ia menatap bingung pada adiknya, sementara Gadis itu sendiri terlihat malu-malu memilih ujung piamanya.
“Kamu mau datang ke kantor Kakak?” tanya Rayan di tengah keterkejutannya.
“Memangnya enggak boleh?”
“Siapa yang bilang enggak boleh?” Refleks, tangan Rayan terangkat dan mengusak rambut Freya. Tawa kecilnya mengembang dan seketika rasa pening di kepalanya pun menghilang.
“Tapi Hanny enggak bisa terus nemenin kamu. Dia harus liputan, cari berita.”
“Kak Hanny bilang di kantor Kakak ada perpustakaan.”
Ah, mengertilah Rayan sekarang. Tampaknya kemarin Hanny memamerkan perpustakaan kantor mereka.
Memang harus diakui, selain memiliki fasilitas ruang rekreasi yang nyaman, kantonya juga memanjakan para pekerjanya dengan banyak buku yang terdapat di perpustakaan cukup besar itu. Bahkan tak jarang perpustakaan tersebut juga di kunjungi oleh pengunjung dari luar, seperti mahasiswa atau bahkan murid-murid SMA yang datang untuk sekadar mengerjakan tugas mereka.
“Oke, kalau begitu kita berangkat bersama. Siap-siaplah!”
Freya mengangguk dan berbalik setelah memberikan Rayan senyum canggungnya yang lucu. Namun baru beberapa saat, gadis itu berhenti dan menoleh pelan.
“Omong-omong, kalau Kakak mau makan aku sudah menyiapkan roti bakar. Kak Hanny benar, di kulkas tidak ada bahan makanan. Mungkin sebaiknya kita belanja nanti.”
Rayan mengerjap, ia merasakan kakinya hilang pijakan. Sedikit berlebihan memang, tapi itulah yang ia rasakan ketika senyum canggung milik adiknya itu mengembang lebih lebar.
***
“Sini!”
Rayan menyeret Hanny yang baru saja datang. Lelaki itu bahkan tak segan menghiraukan pekikan sakit wanita itu ketika tangannya semakin kencang mencengkeram lengan si wanita.
“Apa-apaan, sih?” tanya Hanny dengan nada kesal.
Lagi pula, siapa yang tak kesal ketika ditarik seperti sapi. Hanny baru datang, dan sesungguhnya ia perlu mengistirahatkan punggungnya.
“Kamu bilang apa kemarin sama Freya?”
“Hah, apa?” Wanita seperempat abad itu mengernyit bingung. Ia jelas sekali belum bisa memproses pertanyaan Rayan dengan benar.
“Freya datang. Dia mau ke sini karena kamu. Memangnya kamu bilang apa sama dia kemarin.”
Gadis itu sudah berada di perpustakaan sekarang, Rayan sendiri yang mengantarkannya. Namun walau begitu, Rayan tidak serta-merta melupakan rasa penasarannya atas apa yang Hanny ceritakan kepada adiknya.
“Oh!” Hanny berseru seraya menepuk tangannya. Sorot mata kebingungan itu kini berubah jadi berbinar. “Lihat kan, kemampuan bicara dari hati ke hati antar perempuan itu memang bekerja dengan baik.”
“Ya, ya, ya. Jadi apa yang kamu bilang sama dia?”
“Aku enggak bilang apa-apa. Malah dia yang bicara banyak.”
Rayan ingat, setelah makanan habis, Hanny mengajak Freya mengobrol di beranda depan. Ia dengan tatapan mematikannya mewanti-wanti Rayan supaya tidak mengikuti atau menguping pembicaraan mereka.
Saat itu Rayan harus menunggu sekitar empat puluh lima menit. Lonceng pemberitahuan di ponselnya terus berdering sementara kedua perempuan itu belum juga kembali.