Semua terlihat sempurna, sampai akhirnya aku melihat ke belakang.
***
Siapa yang tidak kenal Rayan. Kau hanya tinggal tanyakan tentang seorang lelaki berkacamata dan memiliki lesung pipi yang selalu datang pukul tujuh tepat. Maka setiap orang di kantor pemberitaan itu akan menunjukkanmu seorang lelaki cukup tinggi yang tengah menikmati kopi di dekat ruang rekreasi.
Ya, dia Rayan. Usianya dua puluh lima tahun. Jabatannya redaktur di salah satu kantor berita harian olahraga di Jakarta. Semua orang akan setuju jika Rayan merupakan sosok paling taat, paling disiplin dan tentu saja paling dicintai oleh ketua redaksi.
Rayan pria yang hampir sempurna. Otak cerdas, keluarga harmonis, kehidupan mapan juga lingkungan yang sepadan. Apa lagi yang kurang?
Ayahnya seorang pengusaha yang sukses, namun lelaki itu tak pernah menyiksa Rayan dengan segala tuntutan yang biasanya kau dapatkan di drama malam tentang seorang ayah otoriter. Tidak. Sebaliknya, dia adalah seorang pria hangat yang rela kehilangan laba jutaan rupiah hanya untuk mengantar anaknya pergi ke sekolah.
Ibunya wanita yang lembut. Ia seorang yang mengabdikan seluruh hidupnya pada keluarga. Tangan wanita itu merawat dan membesarkan Rayan hingga menjadi pria idaman. Dia tegas, namun tak begitu saja membuat sorot mata belas kasihnya pudar.
Adik perempuannya, Freya, adalah seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun. Dia pintar, seperti kakaknya.
Ia tinggal di rumah hangat yang terletak di sebuah perumahan daerah Kebayoran Baru. Rumah minimalis dengan rumpun bunga mawar di dekat berabda depannya. Rumah itulah yang meberikan Rayan kehangatan setiap harinya.
Pria dengan wajah oval dan rambut gelap itu hidup dengan segala kesempurnaannya.
Orang-orang jelas memuja dan menyanjung kehidupan Rayan. Mereka senang ketika pria itu bercerita tentang bagaimana keluarganya menghabiskan akhir pekan dengan membaca buku bersama, menonton pertandingan bola atau bahkan hanya mengobrol santai.
Semuanya memang terasa biasa, namun entah kenapa air wajah Rayan begitu menggebu-gebu ketika bicara tentang hal-hal disebutkan di atas.
Seperti saat ini. Lelaki itu tengah duduk di dalam salah satu cubicle wartawan harian yang berada di bawah pengawasannya.
Mereka baru saja selesai technical meeting bulanan beberapa saat yang lalu, dan sudah bisa pulang jika mau. Namun alih-alih mengambil langkah seribu seperti orang-orang lain, Rayan dan Albi memilih untuk duduk-duduk terlebih dahulu.
Mereka tengah membicarakan soal jadwal futsal bulanan yang hampir tak pernah anak-anak kantor lewatkan, kecuali Rayan sendiri.
“Sekali-kali lo harus ikut anak-anak. Futsal enggak seburuk itu. Lagi pula bukannya aneh, redaktur Liga Indonesia enggak bisa main bola. Malu-maluin aja lo, Pak.”
Rayan tertawa mendengar ocehan Albi. Wartawan hariannya itu memang dikenal sangat dekat dengan Rayan. Bahkan karena kedekatan mereka, wartawan lain sering menyangka ada nepotisme di antara mereka.