Dia lahir ketika matahari sedang terang-terangnya.
***
“Rayan, mau ketemu Adek?”
Ayah bertanya lembut saat itu. Genggaman tangannya membalut tangan Rayan yang tadi sempat gemetaran. Pria itu menatap mata Rayan yang berpedar polos dan mulai antusias ketika 'adik' terucap dari mulutnya.
“Mau, Yah.”
Suara Rayan yang sarat akan semangat membuat Pak Gunadya menuntun anak lelakinya yang baru berusia delapan tahun itu menuju ruangan tempat Adik dan Ibunya beristirahat.
Tadi siang, sepulang sekolah Rayan dikejutkan dengan kehadiran ayahnya di gerbang depan. Ia terpaksa harus meninggalkan teman-temannya dan memutuskan janji untuk bermain playstation di salah satu rumah mereka karena ayahnya.
Pria itu terlihat berantakan, rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut bukan main. Rayan jelas kaget. Pasalnya, pria itu bukan seseorang yang serampangan seperti ini. Ayahnya selalu menjunjung tinggi kesopanan ketika menemui orang lain. Namun penampilannya saat itu jelas jauh dari kata sopan.
Tak banyak bicara, Rayan langsung masuk ke dalam mobil ketika pria itu memintanya buru-buru.
Siapa sangka, dari pada membawanya ke rumah, Pak Gunadya malah mengarahkan mobilnya ke sebuah rumah sakit. Ia tak bicara apa-apa, hanya saja ketika Rayan menatapnya dengan lama barulah ia tertawa sambil bilang jika adik yang telah Rayan tunggu-tunggu telah lahir.
Anak itu bukan main senangnya. Ia bahkan menyeret ayahnya ketika pria itu kesusahan mengambil segala kelengkapan yang dia bawa dari rumah.
Rayan tahu adiknya seorang perempuan. Kata ayahnya dia bayi paling cantik yang pernah pria itu lihat.
Ketika Rayan tanya kenapa bisa begitu, Pak Gunadya menjawab.
“Karena bayi paling tampan sudah Ayah lihat delapan tahun yang lalu.”
Mereka masuk ketika suster baru saja menidurkan si kecil di keranjang bayi dekat dengan ranjang Ibunya.
Rayan tersenyum pada wanita yang masih terbaring itu, lalu mendekatinya terlebih dahulu dan mengecup punggung tangannya. Wanita itu tak banyak bicara, ia hanya mengusap kepala anaknya dengan penuh haru. Matanya berkaca-kaca ketika Rayan dengan malu-malu mengecup pipinya.
“Rayan sayang Ibu,” begitu katanya sebelum ia berjalan ke arah keranjang bayi yang ditempatkan tak jauh dari ranjang ibunya.
Ia menatap takjub pada sosok mungil dalam sana. Ayahnya benar, adiknya adalah bayi paling cantik yang pernah ada. Hidungnya kecil, bibirnya mungil, ia terbalut dengan kain berwarna merah muda yang lucu. Walau tertidur, Rayan yakin adiknya akan memiliki mata yang indah.
“Mau memangku Freya?”
“Freya?” Rayan membeo.
Rayan ingat nama itu. Dia yang mengusulkan, namun lelaki kecil itu sama sekali tak menyangka jika orang tuanya akan menggunakan nama tersebut.
“Iya. Adikmu, Freya Gunadya.”
“Mau Ayah. Aku mau mencoba memangkunya.”
Pak Gunadya melirik ke seorang perawat yang masih berdiri tak jauh dari ranjang istrinya. Ia membiarkan wanita itu memindahkan Freya dari keranjang bayi, sementara Rayan sendiri sudah menyamankan diri di sofa yang tak jauh dari sana.
Lelaki kecil itu mendengarkan arahan si perawat dengan seksama. Hingga ia dapat memangku Freya dalam dekapannya.
“Ayah...”