Jangan hitung waktunya, nikmati saja momennya.
Kira-kira mungkin itu yang sekarang menjadi mantra sehari-hari untuk Rayan. Sejak kedua orang tuanya meninggal, waktu adalah hal paling sensitif untuk pria satu itu.
Hari ke berapa sejak mereka meninggalkan Rayan dan Freya? Berapa jam yang mereka berdua habiskan tanpa Ayah dan Ibunya?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu lebih menyakitkan untuk diingat. Oleh karena itu, Rayan selalu menghindarinya. Ia hanya akan memikirkan tentang bagaimana mereaka melewati masa-masa sulit itu dari pada mengingat-ingat seberapa lama waktu yang ia dan adiknya lewatkan.
Hasilnya menakjubkan, memang tidak bisa dibilang baik. Hanya saja dua bulan tanpa keributan yang berarti antara dirinya dan Freya adalah sebuah pencapaian yang lumayan.Anak itu masih sangat canggung jika mereka harus berjalan berdua, tapi untungnya selalu ada Hanny, wanita itu sering kali menemani ia dan Freya untuk belanja.
Tapi harus diakui, jika kecanggungan itu lambat laun mencair. Freya sekarang tak lagi takut mengetuk pintu kamar Rayan. Ia juga sepertinya tak lagi ragu untuk meminta pertolongan pada kakaknya itu.
Seperti saat ini, Rayan diminta Freya untuk menjemputnya karena ia harus pulang sedikit malam akibat persiapan ujian yang dilaksanakan sekolah. Rayan tahu Freya sedikit takut keluar malam-malam, oleh karena itu ia segera meluncur menjemput Freya walau dengan keadaan lelah bukan main karena baru saja pulang bekerja.
Rayan memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah mini market dekat gerbang masuk sekolah Freya. Melihat lenggangnya gerbang itu membuat Rayan mengira jika ia terlalu semangat menjemput Freya hingga lupa melihat kapan adiknya itu minta di jemput.
Namun syukurlah, tak lebih dari lima belas menit segerombolan anak SMA keluar dari dalam gerbang. Mata Rayan sedikit menyipit mencari-cari Freya di antara mereka. Hingga sebuah hoodie kuning cerah menusuk matanya. Rayan ingat, hoodie itu pemberian Hanny. Awalnya Rayan kira Freya tidak akan pernah memakainya, namun lihatlah hoodie yang membuatnya seperti anak ayam itu malah menjadi barang kesayangannya.
Rayan sempat akan keluar dari mobil saat Freya sudah sampai di depan gerbang, namun perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada seorang lelaki yang berdiri di samping Freya.
Mereka terlihat sedang terlibat dalam sebuah obrolan seru. Keduanya tertawa dan saling menatap satu sama lain.
Rayan mengernyit dibuatnya. Ada sebuah perasaan tak suka. Karena bagaimana tidak, untuk mendapatkan senyum kecil dari Freya saja Rayan harus berusaha mati-matian. Tapi lihat bocah itu, kenapa ia bisa begitu dengan mudah mendapatkan tawa adiknya.
Sangkin seriusnya Rayan dengan pikirannya sendiri, pria itu tak menyadari sosok Freya yang mendekat ke arah mobilnya. Hanya saat adiknya itu mengetuk pintu mobil, Rayan pun bisa menyadari keberadaannya.
Dengan buru-buru pria itu membukakan pintunya dan menyuruh Freya masuk.
“Apa aku lama?” tanya Freya. Tatapannya seperti kurang enak, apa lagi saat ia menyadari betapa kusutnya pria itu. Lengan kemejanya yang digulung, ujungnya yang mencuat dari ujung celana, juga kerahnya yang acak-acakkan.
“Enggak kok, Kakak cuman nunggu lima menitan.”
Rayan menoleh sebentar untuk memastikan jika Freya sudah menggunakan sabuk pengaman sebelum akhirnya menekan pedal gas.
Mobil melaju dengan sangat lenggang. Jauh lebih baik dibandingkan saat Rayan pulang bekerja tadi. Freya di sebelahnya sedang sibuk sendiri dengan ponsel, membuat Rayan merasa terabaikan. Padahal ia ingin sekali bertanya tentang keadaan sekolah.
Jujur saja, sejak skorsing itu, Rayan selalu khawatir setiap kali Freya berangkat sekolah. Terlalu banyak bagaimana yang bersarang di otaknya.