Di sekolah, bukan hanya kami yang punya geng. Ada begitu banyak geng lainnya. Salah satunya CCI (Cewek-cewek Imut).
CCI terdiri dari tujuh orang. Ria dan Lisa di kelas IPA-B. Tika dan Ema yang berada di kelas IPA-A, satu kelas denganku. Sedangkan Bunga, Fitri dan Sisi yang berada di kelas IPS.
Kenapa aku bahas mereka, karena mereka ada kaitannya dengan kami.
Sebagai kelompok yang populer di kalangan para guru, tidak sedikit kami mendapat pandangan sinis, atau mendengar umpatan tentang kami dari siswa lain. Bagi orang yang iri pada kami, kami hanyalah kelompok yang suka mencari perhatian guru. Meski saat itu kami belum membentuk Mistis, tapi kami sudah sangat akrab.
Suatu hari, cerita itu sampai ke telinga kami melalui Lala sepupu Dina yang baru duduk di kelas sepuluh. Kisah itu terjadi pada bulan Agustus 2012. Bulan Ramadhan.
Pagi itu Lala menghampiri aku, Dina, Dewi, Rara dan Feli yang bercerita di parkir
motor. Hari itu kami belum membentuk Mistis.
“Hei, ada yang ingin ceritakan kepada kalian.” Lala bisik-bisik.
Kami berlima merapat padanya yang berdiri di sebelah Dina yang duduk di atas motor Feli.
“Apa, sih?” tanya Dina tidak sabaran.
Sebelum berucap Lala celingukan melirik kiri-kanan, waspada. “Waktu aku latihan Paskibraka kemarin, aku mendengar Ema dan cs mengatai kalian.”
Ema dan cs memang ikut terlibat dalam pelatihan Paskibraka. Mereka ditunjuk sebagai pelatih, karena mereka mantan Paskibraka tahun sebelumnya.
“Mereka mengatai bagaimana maksudmu?” tanya Dina semakin tidak sabaran.
Mendengar kata ‘Mengatai’ dia sudah panas.
“Katanya 'Kalian itu enggak ada apa-apanya. cuma kumpulan cewek-cewek yang heboh, suka mencari perhatian guru. Sok pintar. Cantik juga tidak. Lebih cantik mereka." Begitulah kata mereka.”
Hah? Mendengar itu Dina, Dewi, Rara, dan Feli tersulut emosi. Mereka tidak terima dikatai mencari perhatian guru. Kalau aku datar saja mendengarnya. Aku sangat menghargai orang berpendapat tentang diriku. Mungkin itulah pendapat mereka tentang kami, bukan sebuah penghinaan. Separuh dari itu mungkin saja benar. Semua orang bebas menilai, kan?
"Mereka bilang begitu?” Feli bertanya memastikan.
13
Lala mengangguk
Wah!
“Memang mereka siapa?” kata Dina penuh emosi.
“Iya, nih. Adanya mereka, tuh, yang sok kepintaran, sok cantik,” kata Dewi tidak kalah emosi.
“Udahlah, mereka itu cuma iri sama kita,” kataku mencoba mendinginkan suasana.
Tidak lama kemudian Ema dan cs datang.
“Itu mereka datang,” ujar Lala.
Dina segera beranjak dari motor yang dia duduki hendak melabrak Ema dan cs saat mereka memarkirkan motor. Di susul oleh Feli, Dewi, dan Rara.
“Kalian mau ke mana?” tanyaku waspada melihat gelagat mereka.
“Kita harus samperin mereka,” ujar Dina.
“Eh, apaan, sih?” aku berusaha mencegah.
“Kenapa, sih, Mega?” Rara melotot kepadaku.
“Tidak usah! Jangan cari ribut! Nanti kalian masuk ruang BP. Masuk buku hitam. Mau kamu? Lagi pula ini bulan puasa, tidak baik bertengkar. Nanti puasa kita batal," ujarku.
“Aku tidak peduli,” sahut Dina.
Aku segera beranjak dari motor yang aku duduki menarik tangan Dina yang sudah hendak menuju mereka.
“Jangan! Mereka itu cuma iri sama kita,” kataku berusaha untuk menenangkannya.
Pagi itu Dina bisa aku cegah. Tetapi aku tidak bisa mencegah Dewi, Rara dan Feli yang menyindir Ema dan Tika saat pelajaran Bahasa, kalah Ibu Efri bertanya.
“Dijawab, tuh, ada pertanyaan! Katanya pintar?” ujar Dewi dengan nada penuh penekanan.
“Iya, katanya pintar. Dijawablah.” Rara menambahkan.
“Iya, jangan cuma bisanya dandan doang. Cantik itu tidak butuh, kalau tidak punya otak cerdas." Feli juga ikut-ikutan.
Riana yang sebangku denganku bertanya tidak paham maksud mereka.
Aku ceritakanlah, cerita pagi itu padanya yang tanpa ada yang tertinggal.
14
Brakk.
Riana menggebrak meja, memecah keheningan kelas. Membuat sorot mata tertuju kepada kami.
Aduh! Aku lupa kalau Riana sebelas dua belas dengan Dina yang mudah naik pitam.
“Ada apa, Riana?” Ibu Efri bertanya.
“Ah, ini, Bu. Lagi sensi, baru putus sama pacarnya." Aku asal menjawab.
“Riana, kalau punya masalah pribadi jangan di bawa ke sekolah,” tutur Ibu Efri
dengan tegas, “Dan kalian ini bukannya belajar malah curhat.”
Riana menyikutku, melotot. “Apaan, sih, kamu?”