Best Friends

Awan Senja
Chapter #4

Bab 4. Kabur Dari Rumah

Apa kalian pernah merasa kesal kepada orang tua kalian dengan aturan ketat yang mereka buat? Mereka membuat aturan tidak boleh ini, tidak boleh begitu. Semua dibatasi. Bahkan terlambat pulang lima menit saja, kamu diomeli. Hingga kita muak, hendak pergi saja dari rumah. Aku yakin salah satu dari kalian pernah merasakan hal seperti itu, bukan? 

Kisah ini juga berlaku untuk sahabatku.  

Kisah ini dimulai pada akhir bulan September 2012, dua bulan sebelum kami membentuk mistis.

 Minggu pagi itu, hujan turun lebat mengguyur desa kami. Emak dan Ayuk Aini tidak pergi ke kebun. Juga petani lainnya. 

Aku yang sedang menyetrika seragam sekolah ditelepon oleh seseorang melalui ponsel Ayuk Aini. Karena aku tidak memiliki ponsel. Emak tidak punya uang untuk membelikan aku ponsel. Jika pun ada, aku tidak akan meminta. Uang itu lebih dibutuhkan untuk membayar biaya semester kuliah Kak Anas. Dan aku tidak ingin menjadi egois. Memaksakan kehendak. 

“Ga, ada telepon,” ujar Aini di ambang pintu kamar kami.

“Dari siapa?” Aku bertanya tanpa menoleh. 

“Kakaknya Yuni?” 

“Kakaknya Yuni?” Aku mengangkat wajah menatap Ayuk Aini dengan dahi berkerut. Untuk apa Kakak Yuni menghubungiku? Seingatku kami tidak begitu akrab. 

Ayuk Aini mengangguk, menyerahkan ponselnya kepadaku.

Aku menghentikan sejenak kegiatanku yang sedang menyetrika, menerima telepon dengan perasaan penuh tanya. Untuk apa Kakak Yuni meneleponku?

“Halo!” Aku menyapa seseorang seberang setelah meletakan benda canggih itu di pipi.

“Halo, Mega. Ini aku, Rio.” Suara Rio dari seberang terdengar cemas, “Maaf kalau mengganggu.”

“Iya. Ada apa, Ri?” Aku memang memanggil Rio formal, karena sebaya. Umur Rio dan Yuni hanya berjarak delapan bulan. Dan uniknya Rio adik kelas kami. Rio yang nakal dua tahun tidak naik kelas.

“Apa Yuni saat ini ada bersamamu?”

Aku menggeleng. “Tidak ada, Yo. Memang ada apa?”

21

Rio mendesah, berujar lirih, “Yuni, sejak kemarin sore tidak pulang. Dan kami tidak tahu di mana keberadaannya. Ponselnya juga tidak aktif.”

“Hah! Kok, bisa? Memang apa yang terjadi, Yo?” Dahiku berkerut, mataku melebar mendengar berita itu. Bagaimana bisa seorang anak perawan tidak pulang ke rumah tanpa memberi tahu.

“Yuni bertengkar dengan Bapak kemarin sore.”

“Masalah apa?”

“Karena dia pulang terlambat. Jadi, Bapak menegurnya.” 

“Oh. Begitu, ya.” Aku tidak tahu harus berkomentar apa, “Kamu sudah telepon yang lain?” 

“Sudah. Aku sudah menelepon semua teman-teman kalian. Mereka bilang, mereka tidak tahu di mana keberadaan Yuni saat ini. Kira-kira kamu tahu, siapa lagi yang akrab dengannya selain kalian?”

“Tidak ada, Yo. Bagaimana kalau Wira? Kamu sudah tanya dia? Mungkin dia tahu dI mana keberadaan, Yuni.” Aku memberi saran. Teringat dengan kekasih Yuni. Aku juga mendadak cemas juga. Selain khawatir dengan kondisi Yuni, aku juga takut dia nekat kawin lari dengan Wira. Seingatku, Sabtu itu, sebelum pulang sekolah Yuni jalan-jalan dulu sama Wira. Tidak mungkin , kan, jika Yuni dan Wira kawin lari karena dimarah Bapak Yuni karena pulang terlambat.

 Desa kami masih sangat kental akan budaya, adat, dan tradisi. Di desa kami, wanita harus menjunjung tinggi kehormatannya. Anak gadis harus pandai menjaga diri. Mereka sudah harus berada di rumah sebelum magrib. Jika, mereka belum pulang sebelum magrib, masyarakat akan cemooh. Masyarakat akan menilai mereka bukan gadis-gadis baik. Apalagi jika pulang terlambat sama pacar, bisa jadi hari itu mereka segera dinikahkan. Takut membawa aib bagi keluarga. Sebab itulah mungkin Bapak Yuni sangat marah Yuni pulang terlambat bersama pria. Takut Yuni dipandang buruk masyarakat. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi.

 Di seberang telepon aku mendengar Rio menghela napas berat, “Sudah, Ga. Kami bahkan mendatangi rumahnya. Tetapi Wira tidak tahu.”

“Oh, begitu. Ya, sudah nanti aku tanya teman-teman sekelas yang lain. Mungkin mereka tahu di mana keberadaan Yuni.” Tanpa sadar aku mendesah lega. Jika Wira ada di rumah, itu artinya mereka tidak nekat kawin lari. Sangat di sayangkan jika mereka sampai nekat nikah muda. Masa depan kami masih panjang.

“Terima kasih, Ga. Maaf, sudah mengganggu waktu kamu. Kalau begitu aku sudahi dulu. Kalau kamu punya informasi tentang keberadaan Yuni, tolong hubungi aku. Orang tua aku sangat cemas dengan keadaannya.” Rio menyudahi panggilannya.

22

Aku mengangguk pelan, “Iya. Nanti aku hubungi kamu, jika aku mendapat informasi.”

“Terima kasih, Mega.”

Setelah panggilan dari Rio terputus, aku termangu beberapa detik. Menebak di mana kiranya keberadaan Yuni saat itu.

“Sudah selesai?” Ayuk Aini menghampiriku lagi, setelah tidak mendengar kicau suaraku berbincang dengan Rio. 

“Eh, ini, Yuk. Boleh Mega pinjam ponselnya sebentar.” Aku menyengir lebar, menggaruk kepala yang tidak gatal, “Mega mau telepon teman, ada perlu sedikit.”

Ayuk Aini mendesis tajam. “Aish, kamu ini merepotkan sekali. Makanya beli ponsel biar tidak mengganggu kesenangan orang.”

“Mega tidak punya uang, Yuk. Kan, Mega, tidak kerja. Nanti Mega ganti, deh, pulsanya.”

“Memang kamu ada uang untuk ganti?” cibir Ayuk Aini.

Bibirku mengerucut mendengar sindirannya. 

Ayuk Aini mendesah pelan, “Baiklah. Sana pakai, tapi angan lama-lama. Pulsanya juga jangan dihabiskan. Awas, ya, kalau sampai pulsanya habis! Minggu depan Ayuk akan bilang sama Emak untuk tidak kasih uang jajan,” ancam Ayuk Aini.

Aku langsung memasang senyum lebar, memberi hormat. “Siap, Bos!”

Lihat selengkapnya