Memasuki bulan Oktober 2012. Entah berita dari nama kabar video porno tentang Riana menyebar di sekolah.
Pagi itu, aku terbangun pukul lima subuh oleh suara lembut Emak yang memanggil namaku dari dapur. Aku juga tidak mendengar namaku saja yang di panggil, tetapi Ibu juga memanggil nama Ayuk Aini.
Suara lembut Emak sendiri sudah seperti alarm alami di rumah kami. Kami tidak perlu menyetel alarm lagi, karena sudah ada suara beliau yang setia membangunkan kami setiap pagi.
Meski masih mengantuk berat, aku membujuk mataku agar terbuka. Lalu melaksanakan ibadah salat subuh. Walau kami bukan keluarga yang agamis, tetapi Ibu selalu mengingatkan kami agar tidak lalai menjalankan perintah Yang Kuasa.
Setelah Emak dan Ayuk Aini berangkat menyadap karet, aku membersihkan rumah. Aku tidak ingin saat mereka pulang dalam keadaan berantakan. Mereka sudah lelah bekerja, alangkah bagusnya jika mereka pulang, rumah sudah dalam bersih dan rapi.
Pukul setengah tujuh, persis ketika aku keluar rumah Dina datang menjengukku untuk berangkat bersama ke sekolah. Jarak rumahku dengan Dina tidak terlalu jauh, hanya berjarak dua ratus meter.
Aku dan Dina berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, padahal jarak sekolah dan rumah kami cukup jauh. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke sekolah dengan berjalan kaki. Tetapi, kami tidak pernah mengeluh. Perjuangan untuk menyambut masa depan yang lebih baik.
Setiba di kelas Rara mencegatku di ambang pintu, sedangkan Dina masuk kelasnya.
“Coba lihat wajahmu,” katanya sambil mengangkat wajahku.
“Ada apa ini?” aku bertanya heran.
“Ada video porno sedang tersebar. Katanya itu salah satu dari kita,” jelas Rara.
“Eh? Video apa?” Alisku bertaut mendengar berita itu.
“Mana aku tahu. Katanya salah satu dari kita, dia punya tahi lalat di dagu.” Rara menghempas tangannya setelah tidak menemukan apa-apa di wajahku.
“Siapa yang bilang?”
“Sinta dan cs.”
28
Aku tidak memperhatikan Rara lagi, lekas masuk kelas menghampiri Sinta dan cs yang sedang mengobrol di bangku mereka yang terletak paling pojok.
“Sin, apa benar ada video porno yang lagi menyebar di sekolah kita?” tanyaku to the point.
“Seperti itulah,” jawab Sinta.
“Kalian tahu dari mana?”
“Ada, lah,” Meri yang duduk di bangku depan Sinta yang menjawab.
“Salah satu dari kami?” Aku bertanya memastikan, menatap mereka lekat.
“Belum pasti, sih. Wajah perempuan itu masih samar.” Dian yang sebangku dengan Sinta menjawab.
“Begitu, ya. Boleh aku lihat videonya?”
“Videonya bukan sama kita, tapi sama teman. Ini kita juga mau minta untuk memastikan,” kata Widia, yang duduk sebangku dengan Meri.
“Kalo sudah ada kabari kita. Kita juga mau memastikan.”
Sinta mengangguk. Setelah itu aku kembali ke mejaku terletak paling depan.
***
Ketika bel istirahat berbunyi, kami berkumpul di belakang kelas yang sudah seperti markas kami. Membahas tentang video porno yang menyebar itu.
“Menurut kalian yang dimaksud anak-anak itu siapa, sih? Penasaran aku,” kata Nita, “Kita semua tidak ada tahi lalat di bawah dagu.”
Aku menggeleng, juga penasaran.
“Mungkin mereka salah orang kali.” Dewi yang menyahut.
“Atau bisa jadi itu video hasil editan. Sekarang jaman sudah sangat canggih,” cetus Riana, “Apa yang tidak bisa dilakukan, bukan?”
Kami mengangguk. Bisa jadi video itu hasil edit.
Jika memang salah satu orang dalam video itu salah satu temanku, besar kemungkinan itu hasil editan. Mana mungkin salah satu teman-temanku ini melakukan perbuatan zina itu, apalagi sampai harus direkam segala.Aku kenal teman-temanku dengan baik. Yang punya pacar saja hanya Feli, Rara, Lia, Hani, Yuni, dan Dewi. Sisa jomblo akut.
Lama kami termangu sibuk menerka-nerka. Siapa gerangan orang yang ada di video itu? Sedangkan kami semua tidak merasa.
29
Tidak lama Feli terkesiap membuyarkan lamunan kami, “Jangan, jangan itu video kamu, Ra,” ujarnya sambil menunjuk Rara.
“Aku? Maksud kamu aku orang yang ada di video itu? Gila kamu!” Rara mendesis tajam, tidak terima tuduhan Feli.
“Mungkin saja. Kamu sama Heri pacarannya dekat banget. Peluk-pelukan. Siapa tahu ada yang usil merekam saat kalian bersa –“
“Maksud kamu. Aku dan Heri?!” Belum selesai sudah Feli menyelesaikan kalimatnya, Rara memotong kalimatnya, menatap Feli lekat. Dia ke mana mengerti arah pembicaraan Feli.
“Siapa yang tahu.” Feli mengedikan bahu, seolah acu.
Wajah Rara merah padam menahan marah, tidak terima atas tuduhan itu. “Jadi, kamu mengira aku dan Heri melakukan hal itu?”
“Habis, kalian pacaran kelewatan, sih. Dekat banget. Peluk-pelukan, pegang-pegangan. Siapa yang tidak mengira jika kalian pernah melakukan ‘Itu’.”
Rara menggeleng kepala, tidak percaya jika Feli, sahabatnya sendiri bisa berpikiran picik kepadanya. “Aku sama Heri memang pacaran dekat. Tetapi sumpah demi Tuhan, kami tahu di mana batasan. Aku tidak menyangka jika kamu ternyata selama ini kamu menilai aku buruk.”
“Eh, eh, kok, jadi ribut begini?” Dina menengahi suasana yang mendadak tegang itu. Aku sendiri juga tidak menyangka Feli akan berkata seperti itu. Jelas saja jika Rara marah. Dia merasa sudah direndahkan.
“Bukan cuma aku, semua anak-anak juga.” Feli menunjuk kami semua.
Eh, maksud Feli apa, nih? Kenapa dia jadi memperkeruh suasana.
“ Jadi kalian juga?” Rara melirik kami bergantian, matanya menyorot tajam. Sirat akan kekecewaan.
Kami tergagu, tidak bisa menjawab. Kenyataan kami memang sering membicarakan hubungan Rara dan Heri yang terlalu intim.
Sudah aku katakan pada bab sebelumnya. Jika desa sangat menjunjung tinggi kehormatan wanita. Jangankan pelukan, berpegangan tangan dengan pria di pandang rendah.
“Ra, kita tidak maksud untuk....” Lia berkata lirih hendak menjelaskan.
Rara menggeleng kuat, matanya berkaca-kaca, “Aku... aku tidak menyangka jika kalian bisa berpikir seburuk itu tentangku. Rupanya kalian semua picik. Aku pikir
30
persahabatan kita selama ini tulus. Tetapi, ternyata kalian membicarakan aku di belakangku.”
“Ra, kita bisa menjelaskan semuanya. Semua tidak seperti yang kamu pikir,” kataku.
Rara menggeleng, menyeka air matanya yang tumpah di pelupuk mata. “Tidak. Tidak perlu ada yang dijelaskan. Semua sudah jelas. Kalian semua picik!” Setelah mengatakan itu dia berlari ke kelas. Dia pasti kecewa dengan kami. Pasti.
“Ra! Tunggu, Ra. Kami bisa menjelaskan semuanya.” Dewi berlari mengejar Rara.
Dina membuang napas kasar, kami telah menciptakan masalah baru. Padahal masalah video porno itu belum terpecahkan.
Aku, Riana, Nita, Hani, Siska, Yuni, Putri dan Lia mendelik tajam pada Feli.
Feli hanya mengangkat bahu, seakan dia tidak bersalah.
“Kamu apa-apaan, sih, Feli. Kenapa kamu bisa-bisa menciptakan masalah baru?” ujar Dina.
“Kenapa jadi menyalahkan aku? Kenyataannya, kan, memang begitu. Kalian tidak usah munafik, deh. Faktanya kita memang sering mengatakan hubungan Rara dan Heri. Kita bahkan pernah mempertanyakan kegadisan Rara. Apakah masih atau tidak lagi?”
“Tapi, tidak seharusnya kamu bilang gitu –“
“Sudah, sudah.” Aku menengahi Feli dan Dina, mencegah suasana yang sudah menegang. Apalagi mengingat Dina dan Feli pernah berseteru waktu kelas sepuluh sebelum kami akrab. Gara-gara Dina melaporkan Feli menyontek saat ulangan.
“Sekarang kita semua harus minta maaf sama Rara,” ujar Lia.
“Iya. Kita harus minta maaf sama Rara. Jelaskan semuanya. Biar dia tidak tambah salah paham.” Putri menimpali.
Kami mengangguk, menyusul Rara dan Dewi ke kelas.
***
Setiba kami di kelas Rara terselungkup di meja, menangis terseduh-seduh.
“Ra. Maaf. Aku... kami tidak bermaksud untuk membicarakanmu,” ucap Dewi lirih sambil mengusap punggung Rara, menenangkan gadis itu.
Rara yang terlanjur kecewa menepis tangan Dewi di punggungnya dengan kasar.
Tidak tahan hanya menatap, aku melangkah mendekat diikuti yang lain mendekati meja mereka.
31
“Ra. Kita minta maaf. Kita tidak maksud untuk...,” kata Heni tergagu, merasa bersalah.
Rara mengangkat wajahnya yang sudah sembab oleh air mata, menatap kami bergantian. “Aku pikir kita ini teman. Tapi, ternyata aku keliru. Teman tidak membicarakan temannya di belakang. Teman seharusnya menegur jika temannya salah, bukan justru menggunjingnya.”
Aku terdiam, kami semua terdiam dengan perkataan Rara. Benar. Seharusnya kami menegurnya, bukan justru sibuk membicarakannya.
“Ra. Maaf. Kita minta maaf,” ujar Yuni.
Rara melengos. “Sudahlah! Aku kecewa sama kalian.”
“Ra....” Aku mendesah hendak menjelaskan, tetapi keburu bel berbunyi. Dina, Lia, Putri, Siska, Yuni, dan Hani kembali ke kelasnya. Sedangkan aku dan Riana duduk ke meja kami, Feli dan Nita pun juga kembali ke meja mereka di belakang kami. Kecuali Dewi yang tetap di tempat, karena dia semeja dengan Rara.
Ketika bel pulang berbunyi, Rara bergegas keluar kelas. Meninggalkan kami yang tak sempat menjelaskan apa pun.
***
Setiba di rumah aku menghempaskan tubuh dengan kasar di kursi ruang tamu. Menghela napas panjang. Hari itu adalah hari yang melelahkan sekali. Meski tidak banyak kegiatan, tetapi dengan masalah yang menumpuk itu membuat tubuhku terasa lemas. Belum selesai dari masalah video porno itu, malah di tambah kesalahpahaman dengan Rara.
“Kenapa kamu? Kok, wajah ditekuk begitu,” tanya Ayuk Aini. Dia dan Emak sudah pulang dari kebun.
“Lagi ada masalah.”
“Kenapa? Berantem sama Dina? Ah, besok juga damai,” tebak Ayuk Aini asal, merebahkan pantatnya di sampingku.
Aku menggeleng, “Salah. Kita lagi tidak berantem.”
“Terus kenapa?”
“Ada video yang sedang menyebar di sekolahan.”
“Video apaan?”
“Video porno.”
“Siapa?”
32
“Mana tahu.”
“Kalau bukan kamu kenapa harus pusing?”
“Katanya salah satu dari kita.”
“Kalau kalian tidak merasa kenapa harus pusing.”
“Bagaimana kalau video itu hasil editan. Terus wajah Mega yang di edit.”
“Mega, adikku sayang. Negara kita ini, negara hukum. Tinggal kita tuntut orangnya! Bereskan. Nama kita bersih, kita juga dapat uangnya. Enakkan?”
Aku mendesis atas kalimatnya yang terakhir.
“Lalu bagaimana dengan Rara?”
“Rara?” Dahi Ayuk Aini mengernyit. “Ada apa dengan Rara? Kalian bertengkar?”
Aku mengangguk, menceritakan masalah dengan Rara tadi di sekokah.