Popor mempercepat langkahnya menuju jalan besar dimana dia biasa menjaga angkot yang akan mengantarkannya ke tempat dia bekerja, langit masih berkabut dan jalanan masih lengang, tapi Popor merasa ini sudah terlambat untuk datang lebih awal ke kantor itu. Hari ini adalah jadwalnya untuk mempersihkan lantai delapan, dan itu akan jadi masalah kalau dia datang kesiangan. Popor harus datang lebih awal dari siapapun dan membersikan lantai itu secepatnya sebelum karyawan lain datang, atau dia akan bertemu dengan sang Devil, kalau itu terjadi Popor akan terkena masalah, kesalahan sedikit saja akan membahayakan masa depannya.
Dengan nafas yang terengah-engah Popor berdiri di pinggir jalan, berharap ada satu angkot lewat didepannya dan dia bisa bergegas sampai di kantor, tapi nihil. Belum ada apa-apa di jalanan besar itu. Popor mengerang sambil menatap arlojinya, sudah pukul enam tiga puluh, berarti tinggal satu setengah jam lagi sebelum waktu masuk karyawan, dan dia masih berada dipinggir jalan menunggu seperti orang bodoh.
Popor benar-benar keenakan tidur tadi malam, setelah pulang dari mini market jam sebelas malam Popor langsung tertidur tanpa ingat memasang weker, kakinya sudah tidak sanggup menopang tububnya, kelelahan berhasil mengambil alih tubuh Popor hingga dia harus terkapar di kasur bahkan tanpa mengganti bajunya sama sekali. Popor sungguh kelelahan, lelah tubuh juga pikiran.
Popor memutuskan untuk berlari kecil di sepanjang trotoar, berharap menemukan pangkalan ojek atau semacamnya, menunggu bukan ide yang bagus lagi disaat seperti ini. Popor melengkungkan senyumnya saat melihat tulisan 'pangkalan Ojek' disebuah pohon beringin diseberang jalan.
"Akhirnya...." Dengus Popor lalu menambah laju larinya menyeberangi jalan besar menuju pangkalan ojek itu. Setelah menyebutkan tujuannya kepada tukang ojek tersebut, Popor sudah di bawa melaju oleh motor yang dikendarai tukang ojek itu. Popor merasa sedikit lega, dia masih punya banyak waktu, dia hanya harus mendahulukan membersihkan ruangan Sang Devil, maka hidupnya akan selamat.
Tidak begitu lama, Popor sudah sampai di depan gedung besar perusahaan itu, setelah membayar ongkos, Popor kembali berlari menuju servis room untuk mengambil peralatan kebersihan.
Tidak memakan waktu lama, Popor sudah siap dengan pel dan kemoceng ditangannya, tujuan selanjutnya adalah, ruangan Devil.
Popor celingukan sebentar memastikan tempat itu aman, biasanya OB dilarang untuk memakai lift, tapi karena ini darurat, dan belum ada siapa-siapa di lantai lobi, akhirnya Popor memutuskan untuk memakai lift agar dia segera sampai kelantai delapan.
Popor bergegas masuk lift saat dentingan dari pintu lift terdengar. Lalu segera memencet tombol bertuliskan angka delapan. Popor bernafas lega, satu rintangan sudah terlewati pagi ini.
Tidak lama dentingan kembali terdengar, Popor sudah sampai di lantai delapan.
Berapa kalipun Popor naik kelantai ini, dia tetap saja terpesona. Lantai delapan sudah seperti surga bagi para karyawan, dilantai ini cuma untuk ruangan petinggi perusahaan, selain ruangan Devil disini juga ada ruangan Rian dan deretan ruangan khusus manager. Lantai ini sudah seperti apartemen karena didalam ruangan mereka juga ada ruangan tidur lengkap dengan kamar mandi. Popor berdecak kagum, orang kaya menang senang menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu.
Popor menghentikan aktivitas terkesimanya dan bergegas melangkah menuju ruangan yang dia tuju, ruangan bertuliskan 'Direktur Utama'. Popor bergidik, aura menakutkan terpancar dari dalam ruangan itu. Seandainya saja hari ini bukan gilirannya, Popor lebih memilih membersihkan toilet dari pada membersihkan ruangan itu. Terlalu menakutkan.
Popor mengambil sebuah kartu disakunya dan menempelkanya di sebuah mesin di samping ganggang pintu, lalu terdengar bunyi beep yang menandakan pintu itu sudah bisa dibuka. Popor segera membuka pintu ruangan itu, dan seketika bulu kuduknya berdiri. Melihat ruangannya saja sudah membuatnya takut, bagaimana kalau Popor harus menatap mata Devil itu secara langsung, rasanya Popor memilih untuk pingsan.
Pekerjaan tetaplah pekerjaan, Popor harus membersihkan ruangan itu secepat mungkin.
Popor mengambil sarung tangan di sakunya dan mengenakannya dikedua tangannya.
"Baiklah Devil, ayo kita bersihkan ruanganmu." Popor menepuk-nepuk kedua tangannya dan memulai aktivitasnya.
Ruangan itu cukup luas jadi Popor memutuskan untuk membersihkan meja dengan plakat 'Direktur utama' itu terlebih dahulu. Popor membereskan beberapa map yang berserakan dan membersihkan debu yang menempel dengan kemocengnya. Popor tertegun sejenak saat melihat jurnal besar yang tergeletak sembarangan diatas meja, entah kenapa Popor jadi penasaran dengan isinya, buku itu bertuliskan jadwal bulanan. Kepalang penasaran Popor membuka jurnal itu, keningnya berkerut, pantas saja Devil murka, jadwalnya benar-benar berantakan, tidak salah kalau dia sebegitu marahnya pada sekertarisnya saat itu, hanya saja mungkin cara yang dia lakukan salah.
Popor memeriksa arlojinya sudah setengah delapan, dia mempercepat pekerjaannya apalagi Popor masih harus membersihkan ruangan lain dilantai ini.
Tepat jam delapan, Popor sudah selesai membersihkan semua ruangan di lantai itu, tidak begitu sulit karena semua ruangan notabennya tidak terlalu kotor, Popor hanya perlu merapikan beberapa map dan memvacum lantainya saja. Kini dia sudah bersiap membersihkan lorong disepanjang lantai itu. Popor segera mengambil pel yang dia letakkan dipojok ruangan dan mulai sibuk mengepel setiap sudut lantai bermarmer putih itu.
Beberapa karyawan sudah mulai datang, beberapa ada yang familiar dimata Popor, seperti Manager personalia, Popor pernah satu kali berpapasan di ruangan kopi saat beliau sedang membuat kopi. Tapi sebagian besar Popor tidak begitu kenal. Sudah ada beberapa orang yang melewati Popor, tapi Popor masih fokus pada pel dan lantainya, dia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan segera turun dari lantai menakutkan ini.
Tapi entah kenapa ada yang menyita perhatian Popor, tidak jauh dari Popor berdiri dia melihat dua orang pria sedang saling mengobrol. Popor menutupi wajahnya dengan bagian depan topinya, dia mulai tertarik untuk menguping pembicaraan dua pria itu.
"Kita sudah lama tidak latihan Boxing Vin." Rian terlihat mengiringi langkah Kevin menuju ruangannya. "Mau pergi sore ini? Rasanya jadwalku kosong sampai nanti malam." Sambungnya dan itu membuat langkah Kevin terhenti.
"Sepertinya aku tidak bisa, sore ini aku sudah berjanji balapan dengan Axel di sentul." Kevin Menampakkan wajah datar kearah Rian walau dia tahu betul saat nama Axel keluar dibibirnya raut wajah Rian berubah dingin.
"Kau masih berhubungan dengan tengik itu?" Rian menarik ujung bibirnya tersenyum sinis kepada Kevin.
"Aku tidak perduli dengan apa yang terjadi antara kau dengan Axel, aku disini pihak netral Rian, soal kesalahpahaman kau dengan Axel aku tidak mau ikut campur."
"Kesalahpahaman? Damn it Vin, nggak ada kesalahpahaman, semuanya sangat jelas, Axel itu iblis, kau kan tau kalau kau berada didekat iblis kau akan jadi budaknya." Wajah Rian terlihat datar, tapi Kevin bisa melihat setiap emosi diwajah tenang Rian.