Tiga hari kemudian, hari Sabtu pagi.
Marco terpaksa bangun dari tidur nyenyaknya ketika mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
“Sayang,” panggil ibunya. Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Wajah ibunya muncul dari balik pintu. “Kamu jadi pergi ke Bandung?”
Marco belum ada tenaga untuk bicara, tetapi ia mengangguk.
“Yakin nih nggak ikut nonton konser musik Nicole?” tanya ibunya.
Marco baru memerhatikan kalau ibunya sudah memakai dress semi formal berwarna gading untuk menghadiri konser musik. Ibunya terlihat begitu modis, anggun, dan cantik dengan rambut panjangnya dan make up tipis yang menghiasi wajahnya.
“Nggak, Ma, aku udah bilang Nicole aku nggak bisa datang,” jawab Marco dengan suaranya yang masih serak.
Ibunya menyipitkan matanya, “Kamu mau pacaran lagi ya?”
“Nggak kok,” jawab Marco sedikit terlalu cepat. Ia sudah tahu ibunya pasti mengetahuinya, tetapi tetap saja ia tidak bisa bicara terang-terangan.
“Awas ya kamu, pacaran-pacaran terus. Jangan sok kegantengan,” tegur ibunya.
Marco hendak tertawa tetapi tenaganya belum terkumpul sepenuhnya, jadi ia hanya bisa tersenyum lemah.
Ibunya adalah wanita paling ceplas-ceplos sedunia dan tidak akan segan-segan menegur Marco kalau putranya itu dirasanya berbuat salah. Namun di balik kecablakannya, ibunya memiliki hati yang lembut dan baik. Marco sangat menyayangi dan menghormati ibunya.
“Aku nggak pacaran kok, Ma,” jawab Marco sok polos ketika tenaganya perlahan mulai terkumpul.
“Mama nggak percaya,” ucap ibunya, “Ya udah, mama sama papa mau berangkat dulu. Bener nih nggak mau ikut? Sayang banget, padahal kata Om Garry dan Tante Diana, Nicole udah bagus banget main biolanya,” Garry dan Diana adalah nama ayah dan ibu Nicole.
Marco menghela napas. Ia sesungguhnya ingin ikut dan melihat penampilan Nicole, tetapi bagaimana? Ia sudah janji dengan Sherry dan kedua orang tuanya. Akhirnya Marco menjawab, “Aku nggak ikut, Ma,”
“Ya udah, mama pergi dulu,” ibunya lalu menutup pintu kamar Marco, meninggalkan Marco sendiri.
Marco melanjutkan tidur-tidurannya sampai lima belas menit kemudian dengan kebimbangan yang tiba-tiba menghampiri hatinya.
Ia melirik jam dinding. Jam delapan lewat lima puluh menit. Konser musik dimulai jam sembilan, sementara ia janjian pergi dengan Sherry jam setengah sepuluh.
Marco bangkit dari tidurnya lalu duduk di pinggir ranjangnya. Sungguh, ia tiba-tiba saja tidak berniat pergi bersama Sherry. Ia ingin, ingin sekali melihat Nicole bermain biola di atas panggung. Apalagi tadi ibunya bilang bahwa permainan gadis itu sudah sangat bagus.
Marco mengetuk-ngetukkan jemari tangannya dengan gelisah di kasurnya. Bagaimana ya? Duh, bagaimana ya? Ia benar-benar bingung sekarang. Kedua orang tuanya sudah berangkat. Seandainya ia mau pergi menonton konser musik, ia pergi dengan siapa? Ia tidak mungkin menyetir karena belum memiliki SIM, --meskipun ia sudah bisa menyetir mobil sejak SMP.
Marco masih mengetuk-ngetukkan jemari tangannya, kali ini ditambah dengan jemari kakinya. Waktu berjalan terus sementara ia masih berpikir di sini.
Lima belas detik kemudian, Marco menggapai ponselnya dan mengirim chat ke Sherry, memberitahu gadis itu kalau ia tidak bisa ikut karena mendadak tidak enak badan. Marco pun segera meluncur keluar dari kamarnya, mengambil handuknya, lalu segera masuk ke kamar mandi. Ia mandi dengan cepat, hanya lima menit. Setelah itu, ia segera keluar dari kamar mandi, mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan celana jeans panjang berwarna hitam. Marco pun segera memesan taksi.
Dua puluh menit kemudian, ia sudah sampai di tempat konser musik diadakan. Acara sudah dimulai dan ruangan sudah gelap. Marco melongo melihat tempat duduk sudah penuh. Ia mencari-cari ayah dan ibunya, tetapi sulit sekali menemukan mereka saat ruangan minim cahaya seperti ini.
Seorang panitia menghampiri Marco dan membantunya mencarikan tempat duduk. Marco pun mengikuti panitia tersebut dan ia diberikan tempat duduk di baris kedua sebelah kanan. Lumayan strategis juga, pikir Marco.
Di depan panggung tampak seorang anak kecil berusia kira-kira enam tahun sedang bermain piano di atas panggung.
Marco tersenyum, sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk pergi ke sini. Ia akan melihat penampilan Nicole sebentar lagi dan ia sungguh tidak sabar.
***
“Selanjutnya, Nicole Andreana,” panggil panitia yang menjaga di belakang panggung.
Nicole mengangkat tangan kanannya dan ia pun segera berjalan ke panitia tersebut sambil membawa biolanya.
“Habis ini giliran kamu. Siap ya,” ucap panitia itu.
Nicole mengangguk dan mengambil posisi siap di balik tirai backstage. Ia mengintip dari dalam panggung. Di depan sana seorang anak lelaki sedang memainkan biolanya. Nicole pun menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia sudah berlatih dan ia akan memberikan yang terbaik kepada penonton yang hadir hari ini.
Benak Nicole pun membayangkan wajah Marco dengan senyumannya. Ia teringat ketika konser musik tahun lalu, cowok itu memberinya semangat sebelum ia masuk ke belakang panggung.
“Don’t worry, Nicky. I’ll be there to watch your beautiful play,” ucap cowok itu saat itu.
Nicole tersenyum tanpa memahami mengapa tiba-tiba saja ia merasa jauh lebih santai. Meski cowok itu tidak datang hari ini, ia akan memainkan lagu ini untuk Marco.