Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #5

When He Had to Choose

Hari Senin, istirahat pertama.

Nicole baru saja keluar dari kelas bersama Karen dan Giselle ketika tiba-tiba saja seseorang menghampirinya. Ia melihat ke arah orang tersebut dan segera mendapati sosok seorang cowok berkacamata full frame.

“Hai, Nicole,” ucap cowok itu kikuk.

Nicole menatap cowok itu sambil memutar otaknya dan mencoba mengingat-ingat sosok ini.

“Patrick,” ucap cowok itu mengingatkan, “Kita janji makan siang bareng hari ini,”

Seolah ingatannya baru dikembalikan, mulut Nicole langsung membentuk huruf O besar. Ya ampun, padahal baru dua hari yang lalu Patrick menyapanya di konser musik, sekarang ia sudah lupa. Dengan tidak enak hati, Nicole berkata, “Hai, Patrick. Iya, ini tadinya kita mau ke kelas kamu,” dustanya dan langsung membuat Karen dan Giselle melongo, “Ya udah, kita langsung ke kantin yuk?” Nicole baru akan melangkahkan kakinya ketika ia mendengar suara Patrick.

“Ehm, Nicole,” panggil cowok itu dan langsung menghentikan langkah Nicole. Nicole menunggu Patrick berucap, “Kita janji makan siang berdua aja, jadi...”

Patrick tidak meneruskan ucapannya, hanya menatap Nicole.

Kini gantian Nicole yang melongo. Ia pun menatap Karen dan Giselle bingung. Karen dan Giselle menatapnya balik, sama bingungnya dengan Nicole. Serius? Cowok ini secara halus mengusir Karen dan Giselle dan hanya ingin berduaan saja dengan Nicole? Pemikiran itu segera membuat Nicole merinding.

Nicole baru saja hendak menolak ketika tiba-tiba Karen berkata, “Gue sama Giselle ke toilet dulu ya, Nic. Loe duluan aja. Kalau sempet, kita nyusul,”

Nicole melancarkan tatapan protesnya dan hendak melontarkan kalimat selanjutnya, namun belum sempat ia berkata apa-apa, kedua temannya itu sudah kabur dari hadapannya. Samar-samar, suara tawa puas mereka terdengar dari kejauhan.

Kurang ajar itu anak dua, batinnya. Gue dikerjain supaya terjebak sama Patrick. Lihat aja nanti mereka.

“Nicole? Kita ke kantin sekarang?” suara Patrick membuat Nicole harus mengakhiri omelannya dalam hati.

Nicole menghela napas lalu mengangguk. Ia pun pergi ke kantin bersama Patrick. 

***

Marco mampir ke kelas Nicole, tetapi ia tidak menemukan gadis itu di sana. Ia pun menghampiri Karen dan Giselle yang sedang duduk di tempat duduk mereka.

“Nicole mana?” tanya Marco.

Karen dan Giselle lalu cekikikan. “Lagi dideketin tuh sama cowok,” jawab Karen.

Marco mengerutkan keningnya. “Dideketin?”

Giselle mengangguk masih dengan tawa gelinya, “Mereka udah janjian mau makan siang berdua. Terus gue dan Karen nggak boleh ikut sama si Patrick,”

“Patrick?” Marco semakin bingung.

“Iya, namanya Patrick, anak kelas sebelah,” jawab Karen, “Orangnya nerd-nerd gimanaaa gitu,”

Nerd-nerd posesif,” sambung Giselle membuat tawa Karen pecah.

Marco tidak mengerti maksud kedua cewek di depannya ini. Nicole tidak bercerita apa-apa tentang si Patrick-Patrick ini.

“Loe lihat langsung aja orangnya, Marco,” ucap Karen setelah berhasil mengusutkan tawanya, “Mereka sekarang lagi di kantin,”

Marco pun menuruti saran Karen dan beranjak dari sana. Ia melangkahkan kakinya menuju ke kantin. Entah kenapa hatinya terasa aneh. Nicole tidak pernah dekat dengan cowok manapun sejak kecil. Teman lawan jenisnya hanya satu, yaitu Marco. Sekarang ada cowok lain yang dekat dengannya, rasanya sungguh aneh.

Begitu sampai di kantin, Marco segera meluaskan pandangannya untuk mencari Nicole. Ia pun menemukan gadis itu sedang duduk berhadap-hadapan dengan seorang cowok. Marco memerhatikan cowok asing berkacamata itu, tampak anteng menyantap makanannya. Nicole yang juga sedang menyantap makanannya terlihat kikuk. Suasana di meja itu sungguh hening.

Segala perasaan aneh Marco segera hilang dan tergantikan oleh rasa geli di dadanya. Ia mati-matian menahan tawanya yang hampir meledak. Kalau seperti ini sih, ia tidak perlu khawatir. Nicole tidak akan tertarik pada cowok itu.

Marco pun meninggalkan kantin sambil berpikir, pulang nanti isengin Nicole ah. 

***

Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang berbicara.

Nicole menatap Patrick yang sedang melahap makanannya sambil menunduk. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa Patrick mengajaknya makan siang bersama jika mereka tidak mengobrol sama sekali?

Nicole berdeham, “Ehm Patrick,” panggilnya, berniat memulai pembicaraan.

Patrick mengangkat wajahnya lalu menatap Nicole dari balik kacamatanya. Cowok itu diam, menunggu Nicole melanjutkan kalimatnya.

“Enak makanannya?” tanya Nicole sambil menunjuk nasi goreng yang sedang dilahap Patrick.

“Biasa aja,” jawab cowok itu sambil melanjutkan makannya.

“Oh,” tanggap Nicole, “Ngomong-ngomong, hobi kamu apa?”

“Belajar,” jawab cowok itu.

Kali ini, jawaban itu menarik perhatian Nicole sampai-sampai ia mengangkat kedua alisnya. Jarang sekali orang-orang yang ia temui mempunyai hobi belajar. Oh, tunggu dulu. Mungkin maksud Patrick dia hobi belajar musik atau belajar ilmu bela diri. Nicole tetap harus memastikannya kepada yang bersangkutan.

“Belajar apa aja memangnya?” tanyanya.

“Pelajaran sekolah,” jawab Patrick.

Kini alis Nicole naik lebih tinggi lagi, “Serius kamu? Mana ada orang yang hobinya belajar pelajaran sekolah,” lalu Nicole tertawa-tawa, “Kamu pasti bercanda deh,”

Tetapi cowok itu sepertinya tidak bercanda. Buktinya, Patrick tidak tertawa sama sekali dan hanya menatap Nicole datar.

Nicole segera mengatupkan mulutnya yang terbuka lebar karena tawa. Dengan tidak enak hati, ia berdeham, “Oh, memang pelajaran apa aja yang kamu suka?” Sumpah, ia benar-benar merasa bodoh sekarang.

Lihat selengkapnya