Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #9

Jealousy

Marco menatap langit-langit kamarnya. Sudah tiga minggu berlalu sejak acara ulang tahun ayahnya. Marco hanya bertemu Nicole ketika gadis itu datang ke rumahnya untuk minta diajari Matematika, Fisika, dan Kimia. Ia sebenarnya merasa begitu bersalah kepada Nicole. Ia sudah meninggalkan Nicole yang tidak bisa belajar tanpanya.

Sesungguhnya ia sedikit lega karena gadis itu mau berinisiatif datang ke rumahnya untuk minta diajari. Paling tidak nilai ujian Nicole tidak akan sejelek nilai ujian hafalan Marco.

Marco mendesah berat. Nilai ujiannya benar-benar merosot gara-gara ia belajar tanpa Nicole. Ini gawat. Kalau diteruskan, bisa-bisa nilai rata-ratanya anjlok.

Masalahnya ia tidak bisa bertemu Nicole.

Marco menghela napas lagi. Selain karena larangan Sherry, ia sendiri juga tidak mengerti perasaannya. Setiap melihat gadis itu, ada perasaan aneh yang bergejolak di hatinya. Apalagi sejak kedekatan mereka tiga minggu lalu itu. Marco masih ingat senyuman Nicole dan perkataan gadis itu.

“Aku akan selalu mendukung kamu, Co, dan aku akan happy banget pas ngelihat kamu berhasil nanti,”

Mengapa sih Nicole harus menjadi gadis yang semanis itu? Mengapa ia tidak seperti gadis-gadis lain yang ‘biasa-biasa’ saja?

Marco tak memahami apa yang dirasakannya sekarang terhadap Nicole. Perasaan ini... terasa indah dan manis, tetapi asing. Perasaan aneh yang bercokol di hatinya inilah yang membuat Marco memilih untuk menghindari Nicole, namun malah membuat Marco semakin merindukan gadis itu.

Marco meremas rambutnya. Siapapun, tolonglah dia. 

*** 

Keesokan harinya, Marco berangkat ke sekolah dengan mood yang sama sekali tidak bisa dibilang baik. Ia sulit tidur semalam. Pagi ini ia bangun dalam keadaan tidak segar. Begitu keluar dari rumahnya, ia juga masih harus memutar jalan untuk menjemput Sherry. Belum lagi sepanjang perjalanan mereka, Sherry terus-terusan mengeluh tentang sekolah yang membosankan, udara Jakarta yang panas, guru-guru yang menyebalkan, dan masih banyak hal-hal lain yang dikeluhkannya. Pikiran Marco yang sudah keruh pun bertambah keruh karena mendengar keluhan-keluhan gadis itu. Malas menanggapi, ia memilih diam saja.

Jam istirahat, Marco sudah tak mampu lagi mendengar apa yang diocehkan Sherry. Ia melahap makanannya sambil menanggapi seadanya perkataan gadis itu.

Pulang sekolah, Marco menunggu Sherry di depan kelas gadis itu. Saat menunggu, secara tak sengaja ia melihat Nicole yang baru saja keluar dari kelasnya yang ada di ujung sana. Marco tersenyum. Melihat Nicole rasanya seperti menemukan oase di padang gurun. Menyejukkan.

Tetapi senyum Marco langsung menyusut ketika ia melihat Patrick menghampiri gadis itu lalu mereka berjalan bersama. Marco mengerutkan kening. Kenapa sih cowok itu masih terus-terusan mendekati Nicole?

“Marco?” panggil suara Sherry.

Marco segera menoleh dan mendapat Sherry sudah berdiri di dekatnya, siap untuk pulang.

“Udah, Sher? Ayo,” ujar Marco sambil melangkahkan kakinya.

“Tunggu, Marco,” ucap Sherry tiba-tiba, membuat Marco menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik ke arah Sherry dan mendapati wajah gadis itu sedikit marah.

Sherry menatap Marco tajam, “Kamu tadi ngeliatin Nicole ya!?”

Marco mengerutkan keningnya, “Maksud kamu?”

Sherry memutar bola matanya, “Nggak usah pura-pura nggak ngerti deh. Aku dari tadi udah berdiri di sini. Aku perhatiin kamu ngelihatin Nicole dari jauh,”

Marco mengangkat kedua alisnya, benar-benar heran dengan jalan pikiran gadis ini, “Kalau iya memangnya kenapa, Sher? Kamu udah ngelarang aku ketemu dia. Sekarang kamu juga larang aku untuk lihat dia. Yang bener aja kamu?”

“Ya nggak boleh begitu dong, Marco. Kamu kan udah punya aku sebagai pacar,” ucap Sherry, yang bagi Marco, sangat menyebalkan.

“Apalagi sih, Sher?” nada suara Marco mulai meninggi, “Semua permintaan kamu udah aku turutin. Aku nggak pergi dan pulang sekolah bareng Nicole. Aku bahkan udah nggak belajar bareng dia lagi sampai-sampai nilai aku dan dia terancam jelek. Bahkan nilai aku udah jelek sekarang,”

Sherry memutar bola matanya lagi, “Salah kalian nggak bisa belajar sendiri,”

Cukup sudah. Ia sudah tak bisa menahannya lagi. Marco sudah terlalu lama menahan kesabarannya. Ia menuruti semua keinginan Sherry, tetapi gadis itu bukannya menghargainya, malah menginjak-injaknya. Persetan dengan taruhan itu. Nicole menang.

Sorry, Sher, cukup sampai di sini aja. Aku mau kita putus. Mulai besok kita pergi dan pulang sekolah sendiri-sendiri, oke?” ucap Marco lalu bergegas meninggalkan Sherry, namun langkahnya tertahan karena gadis itu menarik lengan Marco.

Wajah Sherry pucat dan sangat terkejut, “A-apa kamu bilang, Marco? K-kenapa jadi begini?” gadis itu terbata-bata.

“Kita putus, Sher. Aku udah bosan dan mau cari cewek lain,” jawab Marco asal. Ia pun menarik lengannya dari genggaman Sherry dan segera pergi dari sana dengan marah.

Tidak ada yang boleh menjelek-jelekkan persahabatannya dengan Nicole di depannya.

***

Keesokan harinya, Marco merasa begitu tenang dan lega karena telah mengakhiri hubungannya dengan Sherry. Ia merasa begitu bebas, sebebas saat belum jadian dengan gadis itu. Tidak apa-apa deh kalah taruhan, yang penting ia tidak perlu menyiksa dirinya lagi. Ia akan menikmati masa-masa mudanya yang indah seperti dulu lagi.

Marco belum berencana memberi tahu Nicole mengenai hubungannya yang sudah kandas. Nanti saja deh. Ia sedang malas sekali membicarakan Sherry. Belum lagi Nicole pasti akan menertawainya dan berkata, “Tuh kan, aku bilang juga apa,”

Setidaknya rasa lega itu bisa ia nikmati sampai jam istirahat kedua.

Ya, hanya sampai jam istirahat kedua karena Marco tiba-tiba saja dipanggil oleh guru bimbingan konseling.

Marco datang ke ruangan konseling dan mendapati Sherry di sana, sedang menangis-nangis. Bu Nia, sang guru konseling, duduk di hadapan Sherry sambil menatap gadis itu dengan sabar.

Wah, ada yang tidak beres. Marco memiliki firasat kalau sebentar lagi kepalanya akan pusing lagi.

Dan benar saja. Sesi konseling selama satu jam dihabiskan Marco untuk mendengarkan amukan dan teriakan Sherry kepadanya, sampai-sampai Bu Nia juga kewalahan. Butuh waktu satu jam lagi untuk menenangkan gadis itu. Itu berarti ia sudah melewatkan dua jam pelajaran dengan sia-sia demi hal yang tidak penting seperti ini.

Sesi konseling dua jam sukses membuat mood Marco kembali memburuk. Kepalanya pusing dan pikirannya sekeruh air got. Suara Sherry yang melengking begitu memekakkan telinganya, belum lagi tuduhan-tuduhan gadis itu padanya yang mengatakan kalau ia selingkuh. Marco sudah mencoba menjelaskan kepada Bu Nia dan untungnya Bu Nia mengerti. Sherry tidak mau mengerti dan Marco tidak peduli. Terserah gadis itu mau bilang apa.

Marco membutuhkan Nicole. Ia benar-benar membutuhkan gadis itu sekarang. Ia harus bercerita kepada seseorang untuk meringankan bebannya dan orang itu haruslah Nicole. Maka Marco menggapai ponselnya dan mengirim chat ke gadis itu.

Nicky, nanti pulang sekolah ke taman belakang ya. Ada yang mau aku ceritain. Urgent!

Tidak lama kemudian, datang balasan dari gadis itu.

Hari ini aku nggak bisa, Co. Besok gimana?

Marco mengangkat sebelah alisnya. Tumben?

Memang kamu mau ke mana, Nick?

Lalu balasan gadis itu datang lagi.

Ada deh. Besok aku ceritain yah.

Keesokan harinya, sepulang sekolah, Marco menunggu Nicole di taman belakang sambil mendengarkan musik yang mengalun dari mp3 player-nya. Ia memejamkan mata, meresapi setiap nada lagu yang sedang ia dengarkan. Di benaknya, terbayang Nicole yang sedang memainkan biolanya dengan begitu indah dan cantik.

Marco harus membuka matanya ketika ia merasa earphone di telinga kanannya dicabut. Ia menoleh dan mendapati Nicole sedang menempelkan earphone tersebut di telinga kirinya selama beberapa detik.

Gadis itu lalu menatapnya dan Marco tak bisa mengartikan tatapan itu. Hanya beberapa detik saja sebelum akhirnya Nicole tersenyum, seolah ingin menyembunyikan perasaannya. Gadis itu lalu berucap, “Somewhere in Time. Aku seneng deh kamu dengerin lagu kesukaan aku,”

Lihat selengkapnya