Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #12

Hurt and Anger

“Aku benci sama kamu, Co!!!”

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Marco dan merasuki dadanya hingga terasa begitu sakit. Kedua kakinya lunglai dan ia pun akhirnya jatuh berlutut.

Ia menyadari kalau ia sudah membuat kesalahan besar.Sebuah kesalahan bodoh yang diperbuatnya karena egonya. Kesalahan fatal yang telah menghancurkan hati gadis yang paling disayanginya. Gadis yang selalu ingin dilindunginya.

Dadanya terasa sesak dan tenggorokannya seperti terganjal sesuatu yang begitu besar dan berat. Ia kemudian merasakan kedua matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah menangis sejak menginjak usia enam tahun. Dan hari ini, untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, ia ingin menangis.

Marco memejamkan kedua matanya dan membiarkan air matanya terjatuh. Ia telah membuat Nicole menangis dan ia membenci dirinya sendiri.

“Apa cuma kamu yang boleh pacaran? Apa cuma kamu yang boleh senang-senang sama lawan jenis? Kenapa cuma kamu yang boleh bahagia, sementara aku nggak boleh??”

Setiap kalimat yang diucapkan Nicole menorehkan satu luka di hati Marco. Luka yang ia buat karena perbuatan bodohnya sendiri, bukan karena gadis itu.

Marco mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Nicole selalu mendukungnya. Gadis itu tidak pernah protes maupun marah ketika Marco meninggalkannya. Gadis itu tidak pernah sekalipun secara sengaja memutuskan hubungan Marco dan pacarnya. Gadis itu tidak pernah tidak senang ketika Marco berbahagia. Jadi kenapa Marco tidak dapat melakukan hal yang sama kepada Nicole? Kenapa ia dengan bodohnya merusak kebahagiaan Nicole seolah kebahagiaan gadis itu adalah sesuatu yang tidak berarti?

Dengan tatapan kosong, Marco berpindah dari posisi berlututnya dan bersandar di batang pohon. Ia merenungi dan mengingat-ingat bagaimana akhirnya ia bisa berakhir di sini dengan rencana busuk ini.

“Si Nicole yang bener aja. Pilih pacar kok model Patrick gitu,” Marco teringat ucapan Andrew di lapangan basket waktu itu, “Dia nggak tahu ya kalau dia cantik dan pantas dapat yang lebih dari Patrick?”

Tiba-tiba saja, sebuah ide muncul di benak Marco. Ia terdiam dan memikirkan ide itu sebentar.

Dua menit setelahnya, ia berkata kepada Andrew, “Bisa bantuin gue?”

Andrew menoleh dan mengerutkan kening, “Bantuin apaan?”

Marco tersenyum penuh arti, “Minggu depan, pas pulang sekolah, tolong panggil Patrick ke taman belakang. Gue punya kejutan buat dia,”

Andrew mengerutkan kening, “Kejutan apa?”

Marco tak berniat menceritakan rencananya sama sekali ke siapapun. Ia sudah sangat bersemangat dengan rencana ini dan ia yakin ia akan berhasil. Andrew pun tak bertanya-tanya lagi dan setuju membantu Marco untuk menyuruh Patrick ke taman belakang di hari yang sudah ditentukan.

Dan semuanya berakhir dengan sukses. Ya, ia sukses menghancurkan hubungan Nicole dengan Patrick dan ia juga sukses menghancurkan hubungan persahabatannya sendiri dengan Nicole.

“Marco?” sebuah suara berat terdengar.

Marco menoleh sebentar dan mendapati Andrew berdiri di dekatnya dengan wajahnya yang terlihat khawatir. Ia kemudian mengembalikan tatapan kosongnya ke depan.

Andrew duduk di samping Marco lalu terdengar helaan napas cowok itu, “Well, sh*t. Loe bener-bener cari masalah,”

Marco tak menjawab apa-apa karena apa yang dikatakan Andrew memang benar. Ia sudah membuat kekacauan.

“Ini sadis sih. Gue nggak nyangka loe bakal ngelakuin ini,” ujar Andrew lagi.

Can you please shut up!?!?” seru Marco putus asa ke arah Andrew. Beberapa detik kemudian, Marco menyadari kalau ia sudah kehilangan kendali, “Sorry,” ucapnya. Marco mati-matian menahan air matanya yang hendak keluar, tetapi ia gagal. Sambil memalingkan wajahnya dari Andrew, di benaknya kembali terbayang wajah Nicole yang sedang menatapnya dengan kecewa dan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri setiap kali mengingat bayangan itu.

Dari samping Marco, Andrew menatap temannya itu dengan penuh pengertian. Ia pun memilih untuk diam dan menemani Marco di sini.

“Kenapa gue ngelakuin hal bodoh kayak gini?” ucap Marco beberapa menit kemudian, ketika emosinya sudah lebih reda.

Andrew memandang Marco dengan prihatin dan memilih untuk tidak berucap dulu.

Marco menatap langit di atasnya yang terhalang oleh ranting dan dedaunan pohon. Ia memutar ulang memorinya tentang Nicole. Marco selalu menjaga Nicole sejak kecil. Ia tidak ingin membuat gadis itu kecewa maupun sedih. Ia akan merasa begitu bersalah jika Nicole sedih karena perbuatannya dan akan mengusahakan apapun agar gadis itu tersenyum lagi.

Namun, sejak ada cowok lain yang hadir dalam hidup gadis itu, suatu rasa tidak suka muncul begitu saja. Ia tidak bisa menerima ketika melihat Nicole terus-terusan menghabiskan waktu bersama Patrick, apalagi sampai pacaran dengan cowok itu. Ia tidak bisa menerima ketika mendengar cerita Andrew tentang betapa akrabnya Nicole dan Patrick saat jalan-jalan di mal berdua. Intinya, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Nicole telah menemukan pengganti Marco.

Lihat selengkapnya