Jenny Oentoro memerhatikan anaknya yang kini menjadi lebih pendiam. Seperti saat makan malam sekarang ini. Biasanya putranya itu terlihat ceria dan banyak bercerita kepada kedua orang tuanya. Namun beberapa waktu belakangan ini, Jenny tidak menemukan keceriaan itu di wajah putranya. Putranya, Marco, lebih sering murung dan banyak melamun. Saat diajak bicara, kadang anak itu tidak nyambung.
Jenny mendapat telepon dari wali kelas Marco, Pak Heru. Pak Heru memintanya agar dapat membimbing dan memantau proses belajar putranya karena belakangan ini nilainya anjlok. Tentu hal ini sangat mengejutkan karena nilai Marco selalu stabil. Putranya itu selalu belajar bersama Nicole jika ada ujian dan nilai mereka berdua selalu baik.
Berbicara tentang Nicole, Jenny kemudian menyadari kalau Marco sudah jarang pergi dan pulang sekolah bersama gadis itu. Marco juga sudah jarang sekali bertemu gadis itu di akhir pekan. Marco tidak pergi ke rumah Nicole dan Nicole tidak datang ke rumah ini. Jenny tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, tetapi ia tidak ingin kedua anak itu bertengkar terlalu lama sampai-sampai memengaruhi mood mereka seperti ini, apalagi sampai memengaruhi nilai. Lagipula, ia sudah menyayangi Nicole seperti anaknya sendiri. Ia tentu ingin Marco dan Nicole terus bersahabat sampai mereka dewasa, bahkan sampai mereka tua.
Maka setelah makan malam selesai, Jenny mengajak Marco bersantai di halaman belakang rumahnya. Ia duduk di kursi malas, begitu juga Marco yang duduk di kursi malas sebelahnya.
Jenny melirik Marco yang lagi-lagi sedang melamun. Ia pun menghela napas, “Jadi, bisa kamu ceritakan kamu ini kenapa?”
Marco menoleh dan menatap Jenny bingung, sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaannya barusan.
“Lagi ada masalah apa, Sayang?” tanyanya.
Marco menarik lagi pandangannya kemudian menggeleng, “Nggak ada apa-apa, Ma,”
Jenny mengangkat satu alisnya, “Oh ya? Lalu kenapa Pak Heru menelepon mama dan ngasih tahu kalau nilaimu menurun drastis belakangan ini? Kamu nggak belajar atau apa?”
Putranya kini menoleh kaget ke arahnya, “Apa? Pak Heru telepon mama?”
“Iya, katanya Pak Heru sudah manggil kamu ke ruang guru waktu itu dan ngasih tahu kalau nilaimu menurun. Setelah dikasih tahu, nilai ujian kamu masih belum meningkat. Kalau sampai dua minggu ke depan masih belum ada perkembangan, Pak Heru mau memanggil mama atau papa ke sekolah,” ujar Jenny.
Wajah Marco kemudian terlihat gelisah. Lelaki muda itu perlahan bangkit dari posisi bersandarnya lalu meremas rambutnya, terlihat begitu nervous.
“Jadi kenapa, Marco? Kalau nilai kamu begini terus, bisa-bisa kamu tinggal kelas loh,” ucap Jenny lagi.
“Sorry, Ma. Aku bakal ningkatin nilai aku,” jawab Marco.
Jenny menghela napas, “Kamu yakin?”
Marco terdiam mendengar pertanyaan Jenny. Semburat keraguan terpapar di wajahnya yang terlihat lelah. Putranya sedang menyimpan masalah yang sepertinya cukup berat.
Marco kemudian menghela napas, “Aku nggak yakin, Ma,”
Jenny menghargai kejujuran putranya. Tatapannya kemudian melembut dan ia memilih untuk diam agar Marco melanjutkan ceritanya.
Marco menatapnya putus asa, “Aku nggak bisa tanpa dia,”
“Dia siapa, Marco?” tanya Jenny lagi, ingin memastikan meskipun ia sudah tahu jawabannya.
“Nicole,”
Jenny mengangguk mengerti. Ia lalu bangkit dari posisi sandarannya dan duduk menghadap putranya, “Apa yang terjadi?”
Marco mendesah lagi, “Ada lah, Ma. Pokoknya buruk banget,”
Jenny menatap Marco lembut, “Mind telling it to me? Mama is not going to judge you,”
Marco memandang ibunya yang seolah sedang memberinya kekuatan kepadanya. Ia mendesah, “Intinya aku bikin Nicole dan pacarnya putus, Ma,” ujarnya. Ia tidak mungkin menceritakan detail kejadiannya di mana ia mencium Nicole.
Kedua alis ibunya terangkat, “Nicole punya pacar?”
Marco mengangguk, “Namanya Patrick, anak kutu buku yang kaku dan nyebelin,”