Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #15

Forgiveness

Hari Minggu, perayaan ulang tahun Nicole.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Nicole enggan keluar dari kamarnya. Ia tidak siap bertemu Marco di depan kedua orang tua mereka dalam keadaan sedang perang dingin seperti ini, jadi ia mengulur-ngulur waktu.

Lima belas menit kemudian, terdengar suara ibunya memanggilnya dari bawah. Nicole mendesah, merasa begitu malas untuk melangkahkan kakinya. Dengan bersungut-sungut, ia pun keluar dari kamarnya dan menuruni tangga.

Om Ricky dan Tante Jenny sudah hadir di sana, tetapi ia belum menemukan Marco. Nicole segera menyapa mereka dengan sopan.

“Selamat ulang tahun, Sayang,” ucap Tante Jenny sambil menyalami Nicole lalu cepika-cepiki, “Semoga panjang umur, sehat selalu, dan sukses untuk sekolahnya,”

“Makasih, Tante,” jawab Nicole sambil tersenyum.

Kemudian Om Ricky juga menyalaminya, “Selamat ulang tahun, Nicole. Semoga kamu jadi pemain biola sukses,”

“Amin, makasih ya, Om,” jawab Nicole.

“Ini hadiah buat kamu,” ucap Tante Jenny sambil menyodorkan sekotak hadiah yang terbungkus kertas kado.

Nicole menerimanya, “Wah, makasih banyak, Om, Tante,”

Nicole tak dapat mencegah dirinya untuk menoleh dan mencari keberadaan Marco yang belum terlihat sejak tadi.

“Marco nggak bisa datang, Nic,” ucap Tante Jenny yang sepertinya mengetahui apa yang dipikirkan Nicole.

Nicole menoleh ke arah Tante Jenny dengan sedikit terkejut, namun ia berusaha menutupinya. “Oh, kenapa, Tante?” tanya Nicole, tanpa mampu mencegah perasaan kecewa yang tiba-tiba saja muncul di dadanya.

“Dia lagi pergi sama Andrew, nggak tahu ke mana. Barusan dia bilang kalau dia nggak bisa datang karena masih kejebak macet parah. Memang dasar itu anak. Padahal besok udah mau pergi outing ke Lembang,” ujar Tante Jenny.

Entah mengapa Nicole merasa semakin down mendengar ucapan Tante Jenny. Meski ia malas bertemu Marco, ia juga merasa kecewa karena cowok itu tidak datang di acara ulang tahunnya. Terlebih lagi, besok sampai dua hari ke depan, cowok itu akan pergi outing ke Lembang.

Nicole melewati malam itu dengan makan bersama ayah dan ibunya, beserta Om Ricky dan Tante Jenny. Ia tidak bisa terlalu menangkap pembicaraan mereka karena setengah pikirannya sedang berada di tempat lain.

Nicole mengutuki dirinya sendiri. Mengapa ia harus merasa kehilangan Marco? Bukankah ia sedang marah terhadap cowok itu? Bukankah ia sebal dengan Marco yang selalu muncul di dekatnya belakangan ini dengan senyum sok cerianya dan cerita-cerita jayusnya? Bukankah ia marah besar karena cowok itu telah dengan sengaja memutuskan hubungannya dengan Patrick?

Nicole menghela napas kesal. Marco bahkan tidak meminta maaf padanya sama sekali. Cowok itu muncul di hadapannya dengan sok ceria, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka.

Nicole mendesah. Ia tidak mengerti apa yang ia rasakan, tetapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia mengharapkan Marco datang dan duduk di sini bersama mereka, seperti biasa ketika ada salah satu dari mereka yang berulang tahun.

Dan Nicole membenci dirinya sendiri karena mengharapkan hal itu.

***

Pukul setengah sepuluh malam, Marco baru tiba di rumahnya. Ia mengumpat karena jalanan hari ini macet sekali. Ia terjebak dua setengah jam. Bayangkan, dua setengah jam waktunya terbuang sia-sia karena ada penutupan jalan sehingga berimbas pada kemacetan yang sangat parah. Gara-gara itu, ia jadi tidak bisa menghadiri acara makan malam di rumah Nicole. Marco benar-benar tidak menyukai traffic Jakarta.

Marco mengucapkan terima kasih pada Andrew dan Lisa, kakak perempuan Andrew, yang sudah berbaik hati mau mengantarkan mereka ke mal yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Mobil Andrew pun berlalu dari sana, meninggalkan Marco sendiri di depan rumahnya.

Tatapan Marco kemudian terarah ke rumah Nicole. Pintu rumah gadis itu sudah tertutup, tanda acara makan-makan telah berakhir. Marco mendesah lalu melirik sebuah paper bag kecil di tangannya.

Semuanya gara-gara benda kecil ini.

***

Keesokan paginya, Nicole baru saja selesai siap-siap di kamarnya untuk pergi sekolah ketika ponselnya berdering.

Keningnya berkerut. Siapa pula yang menelepon pagi-pagi begini? Ia pun menggapai ponselnya dan menatap layarnya. Kedua matanya membesar ketika ia membaca nama ‘Patrick’ di layar ponselnya. Ia pun menjawab panggilan itu, “Halo?”

“Nicole?” suara Patrick terdengar di telinganya.

Nicole terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Patrick sejak kejadian di taman belakang itu. Patrick tidak pernah membalas chat-nya, apalagi mengangkat teleponnya setiap Nicole hubungi, sampai akhirnya Nicole menyerah.

Nicole berdeham, “Ya, Patrick?”

Ada jeda hening selama beberapa detik sebelum akhirnya suara Patrick kembali terdengar, “Bisa kita ketemu nanti di jam istirahat?”

Nicole tahu seharusnya ia merasa senang karena Patrick akhirnya meneleponnya dan mengajaknya bertemu. Namun... entah kenapa ia merasa tidak bersemangat. Ia sudah terbiasa menjalani aktivitasnya tanpa Patrick beberapa waktu belakangan ini dan, secara mengejutkan, ia menikmatinya.

Nicole menghela napasnya, “Memang ada apa, Patrick?”

Ada jeda selama lima detik lagi lalu terdengar helaan napas Patrick. “Marco... udah ceritain semua ke aku,”

Perasaan Nicole tiba-tiba saja bercampur aduk ketika ia mendengar Patrick menyebut nama Marco dan jantungnya kembali berdebar lebih cepat.

“Kejadian waktu itu bukan kesalahan kamu,” ucap suara Patrick lagi.

Nicole hanya bisa diam dan mencoba mengendalikan perasaannya yang masih bercampur aduk.

“Nanti jam istirahat aku ke kelas kamu ya. Kita ngobrol sambil makan siang bareng di kantin,”

Sorot mata Nicole meredup, entah mengapa ia sama sekali tidak bersemangat dengan ajakan Patrick.

“Nicole?” panggil Patrick lagi.

Lihat selengkapnya