Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #16

It Has Always Been Us...

Hari Senin, pagi hari.

Marco terbangun dengan tubuh yang terasa begitu lelah gara-gara belakangan ini sulit tidur. Ia pun meregangkan tubuhnya, berniat untuk tidur lagi, namun langsung dibatalkannya niat itu ketika ia ingat kalau Nicole sudah pulang hari ini.

Marco segera bangkit dari tidurnya lalu mengecek jam di ponselnya. Masih ada waktu. Ia harus segera mandi dan bersiap-siap. Jangan sampai Nicole berangkat duluan.

Lima belas menit kemudian, ia pun sudah siap. Ia turun ke ruang makan untuk sarapan, pamit kepada ayah dan ibunya, lalu segera keluar dari rumahnya.

Ia berdiri di depan pintu pagar rumahnya sambil menunggu Nicole keluar.

Tidak lama setelah itu, gadis yang ditunggu-tunggunya pun muncul dari dalam rumahnya dan terlihat sedang membuka pagar.

Marco segera menyetel senyum cerianya. “Selamat pagi, Nicky!” sapanya riang.

Senyuman Marco menyusut sedikit ketika Nicole masih tak menggubrisnya. Gadis itu sudah keluar dari pintu pagarnya lalu menutup dan menggemboknya. Nicole pun melangkahkan kakinya tanpa memedulikan Marco yang ada di sana.

Marco segera mengikuti Nicole. Ia memutar otaknya, memikirkan cerita lucu atau tebak-tebakan apa lagi yang akan ia berikan ke Nicole hari ini.

Ketika sebuah tebak-tebakan melintas di benaknya, Marco pun berucap, “Hei, Nick, aku ada tebak-tebakan lagi nih. Kamu jawab ya kalau tau,” ujarnya sambil mengimbangi langkah kaki Nicole, “Laki-laki kalau kepalanya botak di depan, itu artinya di kebanyakan mikir. Kalau botak di belakang, artinya orangnya pinter. Nah, kalau botak depan belakang artinya apa, Nick?”

Hening seperti biasa, tetapi Marco tetap memberi waktu, siapa tahu saja secara ajaib Nicole tertarik untuk menjawab pertanyaannya.

Namun sampai lima detik kemudian, gadis itu tidak menjawab apa-apa dan terus berjalan.

“Jawabannya, kalau botak depan belakang artinya dia pikir dia pinter, hehehe,” ucap Marco sambil tertawa-tawa, berusaha meramaikan joke-nya yang garing.

Gadis itu masih tak menggubrisnya dan tetap melangkah tanpa memedulikannya.

Marco tahu ia memiliki semangat yang sangat besar sejak ibunya memberinya nasihat yang luar biasa. Ia tidak pernah peduli Nicole tidak menggubrisnya. Dengan pantang menyerah, ia terus menunggui gadis itu, pagi dan sore, untuk pergi dan pulang bersama.

Namun hari ini, ia tidak bisa memiliki semangat yang sama. Ia sudah meminta maaf lewat surat kepada Nicole, dan jika gadis itu masih tidak menggubrisnya, apakah itu artinya Nicole tidak memaafkannya?

Perlahan senyum ceria Marco memudar. Langkah kakinya melambat hingga ia tertinggal oleh Nicole yang kini sudah berada di depannya. Badannya yang sudah lelah terasa semakin lelah. Roh optimisme yang selalu memberinya semangat dan menjaganya dari rasa putus asa seolah baru saja dicabut, menyisakan tubuh dan pikirannya yang begitu letih.

Kepalanya tertunduk lesu. Langkah kakinya akhirnya terhenti sama sekali sehingga hanya menyisakan suara langkah kaki Nicole yang semakin menjauh.

Marco merasa begitu tak berdaya dan putus asa. Segala tenaganya telah ia curahkan. Segenap energi telah ia berikan. Ia tidak tahu lagi apa yang bisa ia perbuat. Ketakutannya bahwa gadis itu tidak memaafkannya kini telah menjadi kenyataan. Ia tidak bisa berpikir. Hatinya terasa begitu kecewa. Dadanya sesak. Mood-nya untuk pergi ke sekolah sudah turun ke titik nol. Minus.

Langkah kaki Nicole sudah tak terdengar lagi. Apakah gadis itu sudah menghilang ke balik gang?

“Mau diem di sana sampai kapan?”

Suara feminim yang sudah sangat familiar di telinganya tiba-tiba saja terdengar membelah udara. Sontak, Marco mengangkat kepalanya dan langsung mendapati sebuah pemandangan yang tak dikiranya akan dilihatnya sekarang.

Nicole masih ada di depan sana dan sedang menatapnya. Tidak ada lagi kemarahan dan kekecewaan di kedua mata cokelat mudanya yang indah, hanya ada kelembutan dan kehangatan. Gadis itu tersenyum, begitu manis dan cantik. Hati Marco tiba-tiba saja seperti disiram oleh air sejuk setelah sekian lama kering kerontang.

Please stop telling me those bad jokes. You’re driving me crazy,” kalimat yang diucapkan gadis itu bukanlah pantun, bukanlah puisi, namun terdengar begitu indah di telinganya.

Marco menelan ludah, berusaha mati-matian menahan rasa haru yang mengganjal di tenggorokannya, “Oh, Nicky,” kedua mata Marco berkaca-kaca. Senyuman leganya akhirnya terlepas. Beban berat yang dipikulnya sejak lama kini terangkat, membuat hatinya terasa begitu ringan.

 Ia melangkahkan kakinya mendekati Nicole, begitu juga Nicole yang juga mulai melangkahkan kakinya ke arahnya. Ketika jarak di antara tubuh mereka sudah cukup dekat, mereka menghentikan langkah mereka. Keduanya saling menatap dalam diam.

Pandangan Marco terarah ke sesuatu yang mengkilap di leher Nicole. Senyuman harunya semakin lebar, “Kamu suka kalungnya, Nick?”

Nicole menunduk dan menyentuh kalung berbandul biola pemberian Marco. Gadis itu kembali menatapnya lalu mengangguk sambil tersenyum, “My favourite one,”

Marco tak bisa lagi membendung perasaan bahagianya. Di luar kesadarannya, ia meraih tubuh Nicole ke dalam pelukannya dan memeluk gadis itu dengan begitu erat.

“Maafin aku, Nick. Maafin aku,” bisik Marco dengan suara yang agak bergetar. Oh, akhirnya ia bisa mengucapkannya secara langsung.

Tubuh Nicole terasa begitu kaku di dalam pelukannya. Gadis itu pasti kaget setengah mati karena Marco memeluknya dengan tiba-tiba seperti ini. Namun tidak lama setelahnya, tubuh Nicole perlahan menjadi rileks. Gadis itu lalu membalas pelukannya, seolah sedang menyampaikan kalau ia sudah memaafkan Marco.

Ah, itu saja yang ia butuhkan sekarang. Pemaafan dari Nicole. Itu saja sudah cukup.

Marco memejamkan kedua matanya dengan senyum yang menghiasi wajahnya, menikmati kedekatannya dengan Nicole setelah sekian lama tidak bisa bersama-sama gadis itu. Seandainya saja waktu dapat dihentikan, ia ingin sekali terus berada di sini, ditemani oleh gadis yang paling disayanginya.

***

Nicole kaget setengah mati karena Marco tiba-tiba saja menarik tubuhnya ke dalam pelukannya yang begitu erat. Rasanya ia hampir saja pingsan saking terkejutnya. Ini Marco, sahabat sekaligus cowok yang dicintainya. Yang dengan melihatnya saja sudah membuat jantungnya berdebar-debar. Dan sekarang, cowok itu sedang memeluknya dengan begitu erat.

“Maafin aku, Nick. Maafin aku,” bisik Marco di telinganya, membuat Nicole merasa panas dingin karena kedekatan mereka. Suara cowok itu terdengar bergetar, menandakan bahwa selama ini ia memendam kesedihan dan perasaan bersalahnya yang tak dapat disampaikannya secara langsung. Kesedihan dan rasa bersalah yang ditutupinya dengan wajah dan tawanya yang ceria.

Setelah sempat ragu sebentar, Nicole akhirnya memutuskan untuk membalas pelukan Marco sambil berusaha mengesampingkan perasaan tegangnya.Seandainya saja ia tahu lebih awal mengapa Marco tak langsung meminta maaf kepadanya, ia tidak perlu membuat Marco tersiksa sampai selama ini.

Kedua mata Nicole terpejam, menikmati pertemuan dan kedekatannya dengan Marco, menuntaskan segala perasaan rindunya kepada cowok itu setelah sekian lama tidak bisa menghabiskan waktu berdua.Kali ini saja, ia mengizinkan dirinya untuk menikmati waktu dan kedekatannya bersama dengan cowok yang ia cintai. Kali ini saja, ia ingin mencintai Marco tanpa rasa takut hubungan persahabatan mereka akan rusak karena cinta.

Nicole berharap waktu dapat berhenti sekarang, di sini, bersama dengan orang yang paling ia sayangi.

“Kamu ada ujian besok, Nick?” bisik Marco di telinganya.

Bisikan lembut Marco segera mengirimkan efek ke perutnya yang tiba-tiba terasa mulas, “Kimia, Co,” jawabnya, berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar.

Marco melepaskan pelukannya dari Nicole lalu menatapnya, “Nanti sore di taman belakang?”

Lihat selengkapnya