Bestfriend or Lover?

Livia Jesslyn Valerie
Chapter #21

Always by Your Side

Sore itu, suasana rumah sakit tidak terlalu ramai. Entah sudah berapa jam Nicole duduk di sini dengan kedua matanya yang bengkak karena terus-terusan menangis. Di sampingnya, Karen dan Giselle menemaninya. Di seberangnya, dengan wajah yang terlihat lelah dan terpukul, ayah dan ibunya, beserta Om Ricky dan Tante Jenny duduk sambil mengobrol dengan anggota keluarga Marco lainnya yang datang ke sini setelah mendengar kabar mengenai kecelakaan ini. Di sudut sana, teman-teman basket Marco, termasuk Andrew, juga masih menunggu.

Kondisi Hendry tidak separah Marco. Hendry hanya mengalami luka ringan di beberapa bagian tubuhnya. Kepala cowok itu terbentur namun tidak sampai kehilangan kesadaran karena helm yang melindungi kepalanya. Tetapi Marco...

Nicole menyandarkan keningnya ke kepalan tangannya. Air matanya kembali mengalir. Marco mengalami luka serius di kepalanya karena helm yang dipakainya terlepas saat ia terjatuh. Benturan langsung dengan tepi trotoar membuat Marco seketika hilang kesadaran. Kondisinya kini kritis dan masih dalam penanganan dokter.

Hati Nicole hancur mendengar kondisi Marco sampai seperti itu. Ditambah lagi ia tak bisa bertemu dan melihat Marco. Hal ini membuatnya gila.

Nicole merasakan punggungnya diusap lembut oleh Karen yang duduk di sebelah kirinya. Ia menatap Karen dengan kedua matanya yang basah. Temannya itu menatapnya memberinya dukungan.

“Kita berdoa lagi yuk, Nic. Semoga Marco baik-baik aja,” ucap Karen lembut meski kesedihan membayangi wajahnya.

Tak terhitung sudah berapa kali Nicole berdoa untuk Marco hari ini. Ia terus berdoa, berharap cowok itu cepat bangun. Dan jika Marco tak pernah bangun...

Nicole tak dapat menahan isakannya.

“Nic, tenang, Nic,” bisik Giselle yang duduk di sebelah kanannya sambil mengelus-elus punggungnya.

“Seharusnya kita berangkat bareng-bareng sama Marco dan Hendry,” ucap Nicole susah payah di tengah tangisannya, “K-kalau kita berangkat bareng, m-mereka nggak mungkin kecelakaan karena kita naik mobil,”

Karen dan Giselle menatap Nicole dengan sedih.

“Gue ngerti, Nic. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah mendoakan Marco. Kita tunggu aja sampai dokter keluar dan kasih laporan ya?” ujar Giselle.

Karen menggenggam tangan Nicole, “Jangan khawatir, Nic. Kita bakal nemenin loe terus,”

Nicole mengusap air mata yang mengalir di pipinya lalu menggenggam kalung pemberian Marco yang ia pakai di lehernya. Ia masih tak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru kemarin Marco menyapanya dengan senyum riangnya, sekarang cowok itu terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Seandainya saja ia tahu apa yang akan terjadi, ia tak akan bersikap dingin terhadap Marco. Ia tak memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan untuk menikmati waktu bersama sahabat terbaiknya. Ia mendiamkan Marco ketika cowok itu mengajaknya bicara. Ia tak membalas senyuman hangat yang diberikan Marco kepadanya.

Dan ketika Marco tak bisa lagi tersenyum, apalagi membuka mata...

Nicole kembali menangis.

Setelah satu setengah jam berlalu, dokter akhirnya keluar dari kamar rawat Marco. Sang dokter meminta agar kedua orang tua Marco mengikutinya ke ruang praktiknya untuk menjelaskan kondisi Marco.

Tiga puluh menit kemudian, Om Ricky dan Tante Jenny kembali dengan wajah sedih. Om Ricky menghela napas. Tanpa bisa menutupi kelelahan dan kekhawatirannya, Om Ricky menjelaskan kalau Marco mengalami gegar otak hingga hilang kesadaran. Luka di kepalanya sudah berhasil ditangani, namun Marco masih belum sadar.

“Kita tunggu saja perkembangannya sambil kita pantau terus,” ujar Om Ricky.

Nicole berharap Marco segera sadar. Ia pun kembali duduk di kursinya, bertekad menunggu sampai sahabatnya itu bangun.

Langit perlahan menggelap dan satu persatu keluarga jauh dan teman-teman Marco pulang. Karen, Giselle, dan Andrew adalah teman-temannya yang terakhir pulang. Mereka mengatakan akan datang lagi besok pagi untuk menengok Marco.

Tak lama, kedua orang tuanya mengajak Nicole untuk pulang setelah dipaksa oleh Om Ricky dan Tante Jenny.

Nicole menggeleng. Ia masih ingin berada di sini. Kalau bisa ia ingin tidur di sini menunggui Marco.

“Besok kita ke sini lagi,” ucap ayahnya. Keletihan terpancar jelas di wajahnya, membuat Nicole mengurungkan niatnya untuk merengek agar tinggal di sini. Ia tidak mungkin membuat ayahnya semakin lelah dengan sikap kekanak-kanakannya. Jadi ia pun menuruti orang tuanya.

Keesokan harinya, ia kembali lagi ke rumah sakit. Hari ini ia diperbolehkan masuk ke kamar rawat Marco bersama dengan orang tuanya dan orang tua Marco.

Kedua mata Nicole kembali berkaca-kaca saat ia melihat Marco di sana. Tubuhnya terbaring tak berdaya. Kedua matanya terpejam rapat. Kepala bagian atasnya diperban dan lehernya diganjal cervical collar. Alat bantu pernapasan menutupi wajahnya. Sekujur lengannya yang terluka ditutupi perban.

Nicole tak dapat menahan kesedihan yang mengganjal di tenggorokannya. Ia kembali menangis. Ia masih tak memercayai apa yang dilihatnya sekarang. Rasanya baru saja ia berdansa dengan Marco dan menikmati tiap detik kedekatannya dengan sahabatnya itu. Baru saja Marco mengecup bibirnya dan mengatakan kalau ia mencintai Nicole. Baru saja kemarin Marco menyapanya dengan senyum hangatnya dan memintanya datang menonton pertandingan basketnya.

Dan kini Marco terbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit dan bahkan untuk membuka matapun tak bisa. Betapa keadaan sungguh cepat berubah. Ia seharusnya membalas senyuman Marco ketika cowok itu masih mampu tersenyum.

Nicole sungguh menyesal.

Sebuah usapan lembut di punggungnya membuatnya menoleh. Ibunya berdiri di belakangnya dan menatapnya dengan penuh pengertian. Ibunya terlihat sedih, tetapi tetap berusaha untuk tersenyum.

Ibunya lalu mengajaknya keluar sebentar dan duduk di kursi tunggu.

Nicole segera memeluk ibunya dan menumpahkan tangisnya di situ. Bahunya bergetar karena isak tangis yang tak mampu ia kendalikan.

 "Aku udah jahat sama Marco, Ma. Seharusnya aku nggak cuekin Marco," Nicole tak dapat lagi menyimpan keresahannya sendiri.

Diana mengelus punggung putrinya dengan lembut meski ia tidak tahu apa yang terjadi di antara putrinya dan Marco. Mungkin mereka sedang bertengkar.

"Ssshhhh, nggak apa-apa, Sayang," bisik Diana lembut. Ia membiarkan Nicole mengeluarkan seluruh kesedihannya di dalam pelukannya. Biarlah putrinya itu menangis dan mengeluarkan seluruh ganjalan di hatinya. "Menangis saja, Sayang. Mama di sini bersama kamu,"

Diana menahan air matanya yang hendak jatuh. Putrinya terlihat begitu terpukul dan itu membuat hatinya sangat sedih. Ia tak pernah melihat Nicole sesedih ini. Putrinya benar-benar menyayangi Marco dengan sepenuh hatinya.

Ketika akhirnya Nicole sudah sedikit tenang, Diana melepaskan pelukannya perlahan. Ia lalu menatap kedua mata putrinya yang bengkak dan basah oleh air mata. Dengan lembut, ia mengusap air mata putrinya.

Diana menguatkan dirinya untuk tersenyum. "Kamu tahu, Sayang? Meski Marco nggak sadar, ada kemungkinan dia bisa mendengar kamu loh," ujar Diana.

Putrinya menatapnya penuh tanya dengan kedua matanya yang merah.

Diana melanjutkan, "Kalau Marco bisa mendengar kamu, bisa kamu bayangkan betapa sedihnya dia mendengar kamu menangis terus-terusan?"

Isak tangis kecil Nicole perlahan mulai mereda.

Diana mengusap lembut kepala Nicole, "Marco sayang sekali sama kamu, Nic. Dia akan tambah sedih dan mungkin kondisinya akan semakin menurun kalau kamu terus-terusan sedih. Sebaliknya, kalau kamu ceria setiap kali menjenguk dia, dia pasti akan ikut senang dan cepat sembuh,"

Nicole menyeka air matanya dan memandang ibunya yang kini sedang memberinya kekuatan dan penghiburan. Kasih sayang dan perhatian ibunya seketika membuat hatinya yang tadi penuh kekhawatiran menjadi sedikit tenang. Dengan suara serak, ia bertanya, "Apa bener, Ma?"

Ibunya kembali tersenyum dan mengangguk.

Nicole berusaha meredam napasnya yang masih terpotong-potong karena bekas tangisnya. Ia pun akhirnya mengangguk, "Makasih, Mama,"

Ibunya lalu mengecup keningnya, "Sama-sama, Sayang,"

***

Sejak percakapannya dengan ibunya, Nicole seolah mendapat kekuatan baru. Ia berusaha untuk tidak menangis lagi, terutama setiap menjenguk Marco di rumah sakit.

Ia selalu mampir ke rumah sakit sepulang sekolah. Setiap akan memasuki kamar rawat Marco, Nicole akan menyetel senyum di wajahnya dan berusaha membuat hatinya ceria. Ketika sedang tidak ada orang yang menjenguk, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk bercerita kepada Marco, meski cowok itu tak bisa menanggapi ucapannya.

"Lihat, Co, mantan-mantan kamu tadi pada dateng," ujar Nicole suatu hari ketika teman-teman Marco yang datang menjenguk sudah pulang, "Tadi ada Sheila, Anita, Patrice, dan Sherry! Bayangin, Co! Mereka jenguk kamu, padahal kamu udah bikin mereka patah hati," lalu Nicole tersenyum, "Temen-temen kamu juga pada dateng tadi. Andrew hampir tiap hari ke sini, lalu Hendry juga sering nengokin kamu. Terus kamu tahu nggak sih siapa lagi yang dateng tadi? Patrick! Patrick dateng jenguk kamu. Aku, Karen, dan Giselle sampai kaget," cerita Nicole.

Lain harinya, Nicole menceritakan tentang ujian Matematika-nya yang pas sekali mendapat nilai minimal. "Untung banget, Co, aku nggak perlu ngulang ujian lagi untuk perbaikan nilai. Sebagian soal-soalnya udah pernah kamu ajarin dulu. Yang belum kamu ajarin nih, aku belum bisa,"

Hari berikutnya, Nicole memberikan tebak-tebakan untuk Marco, “Co, coba kamu tebak ya. Laba-laba kan jumlah kakinya delapan. Masuk ke WC umum, kakinya tinggal berapa?”

Hening.

“Tinggal tujuh. Satunya lagi buat nutup hidung,” lalu Nicole tertawa, “Terus satu lagi nih, Co. Gimana caranya menghilangkan bau mulut setelah makan pete?”

Hening lagi.

“Makan jengkol dong, hahaha,” sambungnya sambil tertawa-tawa.

Nicole tertawa namun kedua matanya berkaca-kaca. Marco juga melakukan hal yang sama ketika ia tak mau berbicara kepadanya. Bedanya, sekarang Marco memang tak bisa menjawab pertanyaannya.

Satu minggu akhirnya berlalu. Nicole tak pernah absen mampir ke rumah sakit untuk menjenguk sahabatnya itu. Ia selalu datang ke sana, duduk di samping tempat tidur Marco, berdoa untuk cowok itu, lalu bercerita kepadanya. Nicole selalu menepis segala kesedihan yang menghampiri hatinya. Ia selalu berusaha untuk ceria supaya Marco cepat sembuh dan sadar.

Dua minggu berlalu sejak kecelakaan Marco. Nicole masih berusaha mengukir senyum di wajahnya meski kekhawatiran mulai menghampiri dadanya. Setiap ia bangun di pagi hari, ia selalu menunggu-nunggu kabar baik dari Om Ricky dan Tante Jenny, tetapi ia belum mendapatkannya. Begitu juga setiap ia masuk ke kamar rawat Marco, ia berharap cowok itu bisa menyambutnya dengan kedua matanya yang terbuka dan dengan senyumnya yang hangat.

Memasuki minggu ketiga, Nicole mulai tak dapat lagi menahan perasaannya. Sudah tiga minggu berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda kalau Marco akan bangun. Ia benar-benar merasa khawatir sekarang.

“Co?” panggil Nicole suatu sore dengan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Ia menyentuh wajah Marco dengan lembut, “Kapan kamu bangun? Aku kangen banget sama kamu,” ucapnya sambil menahan suaranya yang mulai bergetar. Ia tak dapat lagi menyembunyikan tangisnya. Akhirnya, setelah tiga minggu, ia pun membiarkan air matanya mengalir keluar di depan Marco. Nicole mengusap air matanya sambil berusaha tertawa, “Sorry, Co, aku nggak bisa tahan lagi,” kemudian Nicole mengeluarkan tangisnya sepenuhnya di samping Marco. Bahunya bergetar, tubuhnya terguncang-guncang karena isakannya.

Bagaimana kalau Marco tak pernah bangun lagi? Bagaimana jika Marco pergi untuk selamanya? Nicole tak akan sanggup menjalani hidupnya tanpa cowok itu. Ia tak akan bisa.

Suara pintu yang dibuka tiba-tiba saja terdengar. Nicole terlonjak kaget, tetapi ia berusaha untuk tidak menoleh karena ia sedang menangis.

“Nicole?” Nicole mengenali suara itu. Andrew.

Nicole segera menghapus air matanya sebelum akhirnya ia membalikkan badannya ke arah Andrew.

Andrew berdiri di ambang pintu, masih dengan seragam sekolahnya. Wajah cowok itu terlihat terkejut ketika melihat Nicole menangis.

Lihat selengkapnya