Namira bosan. Setelah menyelesaikan semua tugas, setelah Juliette dan Kirana pulang, tidak ada hal lain yang betul-betul perlu ia lakukan. Rebahan adalah aktifitas terakhir gadis belia yang tidak bisa diam itu. Usianya 19 tahun minggu depan tetapi banyak orang sekitarnya bersikukuh ia punya kelakuan bak bocah 14 tahun. Padahal mana mungkin anak 14 tahun punya pemikiran macam Namira? Mereka itu melabeli Namira kekanak-kanakan hanya dikarenakan gaya tampil pilihannya. Buat mereka, gadis belia yang sedang mekar-mekarnya tidak sepantasnya berkeliaran dengan sneakers, jeans, loose t-shirt dan jaket tanpa make-up berjenjang. Dari pelembab, toner, cream a-z, primer, foundation dan bla bla bla lain sampai alis sempurna tergambar. Menurut mereka. Sebenarnya, Namira bukannya tidak merawat diri, tapi ia memang memilih bergaya casual. Alasannya tentu saja karena cocok buatnya yang malas berlama-lama depan cermin setiap kali mau ke luar rumah. Pikirannya terlalu penuh untuk ditambahi keharusan-keharusan lain macam muka sempurna. Buatnya, yang penting itu merawat maksimal, bukan memoles maksimal.
Ya, Namira memang tidak salah kalau dia memilih berada di kubu tersebut. Sayangnya, ia memang tidak sadar diri dengan kelebihan fisiknya. Jujur saja, itu mengesalkan. Harus diakui Namira itu cantik. Kulitnya juga sudah sempurna dari orok. Meski rambut tebalnya yang legam sering acak-acakan, selalulah wangi dan bersih. Bahkan Juliette iri pada alis Namira yang tidak perlu mendapat perhatian khusus. Sudah tebal dan melengkung manis. Dirapikan telunjuk saja beres sudah. Dan, bagian yang paling mengesalkan, Namira itu tinggi tapi punya lekuk tubuh feminine. Kirana suka melarang Namira menggelung rambutnya kalau sedang berada di antara teman-teman lelaki mereka. Bukannya apa-apa, leher Namira yang jenjang dang putih itu tanpa sengaja sudah memakan korban. Atau lebih tepatnya membuat Namira jadi calon korban.
Namira itu tidak pedulian, tidak perhatian pada keamanan diri sendiri. Untung ada Kirana yang pintar membaca situasi. Kirana tahu setidaknya Bram dan Lu pernah memandangi leher Namira penuh hasrat. Keduanya juga memang diketahui pernah mendekati Namira walau gagal. Sejak itu Kirana selalu memelototi dan mengambil karet rambut Namira kalau ia masih bersikeras. Juliette setuju dengan sikap Kirana. Karena mereka BFF, hukumnya wajib saling melindungi. Dan, di antara mereka, Namira adalah yang masih bodoh soal lelaki meskipun sempat berpacaran dengan salah seorang lelaki pujaan kaum Hawa selama empat bulan tahun lalu, si Mustav itu. Kalau sekarang, di rumah sendiri, sudah tentu Namira bebas menggelung rambutnya.
Di rumah hanya ada dirinya dan Aki serta beberapa orang pembantu mereka. Paling banter cuma Adnan yang bakal serba salah kalau Namira berlalu di depan hidungnya telanjang kaki dengan celana pendek rumahan, kaos longgar usang dan rambut tergelung ke atas. Adnan itu anaknya Pak Awi dan Bi Enok. Supir serta pembantu keluarga. Mereka sudah bekerja lama sekali jadi kakeknya tidak keberatan dia berkeliaran dalam rumah. Aki cukup keras menjaga Namira, hanya pembantu perempuan yang boleh di dalam rumah. Yang laki-laki dilarang masuk kecuali Pak Awi dan Adnan yang lahirnya juga di rumah Namira ini. Cuma, memang Namiranya saja yang bandel, tidak merasa sudah akil baligh, masih suka berkeliaran macam itu sampai ke gerbang depan kalau sedang tiba-tiba gabut menanti abang siomay langganan lewat. Seperti sekarang.
Abang siomay langganannya sejak SD itu selalu lewat sekitaran jam lima sore. Ia yang gabut langsung melonjak kala matanya menangkap jam di dinding. Melihat angka lima spontan mengingatkannya pada siomay kesukaan. Begitu saja ia keluar tanpa alas kaki. Tidak juga ia ingat dia sudah lepas bra dan shirt buluk yang dia kenakan agak menerawang. Adnan yang tengah membereskan selang bekas mencuci mobil langsung panik dan memerintahkan Pak Satpam pergi memeriksa Pak Satpam yang satunya di gerbang belakang. Ia pun celingukan mencari semacamnya jaket untuk diberikan pada nonanya itu. Jam 5 begini jalan depan ramai orang lewat. Adnan pusing sendiri tidak sudi mereka dapat tontonan gratis.
Hm, mungkin benar juga mereka yang bilang Namira masih seperti anak usia 14 tahun. Kelakuannya begitu sih.
"Non Mira! Gerimis. Udah, biar Adnan aja."
Namira yang baru menapaki kaki di carport menoleh pada Adnan.
"Siomay kan?"
Senyum diberikan Namira, "Bener! Pinter Adnan!"
"Empat siomay, satu kentang, satu kol, satu paria, dua tahu putih kan? Enggak pake kecap."
"Hebat!"
Adnan mengangguk sambil menghela nafas lega kala Namira menuju bangku di teras. Usahanya berhasil untuk menghindarkan orang-orang jalanan memelototi paha mulus dan lekuk tubuh nonanya di balik shirt menerawang itu. Ia berlari mendekati pagar yang berjarak 15 meter dari tempatnya berdiri kini. Sekarang benar-benar ia yakin kalau abang siomay rela lama menunggu Namira keluar tidak semata dikarenakan ingin nonanya membeli siomay.
"Mesum emang orang-orang tuh!" gerutu Adnan.
Adnan tidak keliru berprasangka. Abang siomay memang menunggu dekat gerbang. Yang tidak Adnan duga, jam lima sore begini, ada sebuah mobil yang mendekat. Adnan tidak mengenalnya, jadi alih-alih langsung membukakan gerbang, ia mengamati plat nomor. Hanya dua angka. Artinya, kemungkinan besar rekan bisnis Tuan Besarnya. Ia memandang ke arah pengemudi, jendelanya perlahan turun.
"Bapak Girda Jamal beserta putra berniat silaturahmi."