Makan malam jadi lebih awal dari biasanya. Namira dan Aki sebenarnya jarang makan malam bersama mengingat jam kegiatan Aki dan Namira berbeda jauh. Sebagai mahasiswa, sudah bisa dibayangkan jam-jam selepas adzan Maghrib berkumandang itu kalau tidak mengerjakan tugas atau tidur, pasti Namira tengah berkeliaran di luar rumah bersama teman. Aki tidak memaksa Namira untuk ikut acara makan tersebut sebenarnya. Aki itu cuma sekedar memintanya mau ikut. Iya, sekedar memintanya saja. Tapi mintanya bolak balik sebanyak lima kali dalam kurun waktu 30 menit! Jadinya, Namira mau tak mau bersihkan diri serta berdandan kilat karena kesal. Aki memang pintar membuatnya menurut tapi kali ini Namira dongkol karena wajah Aki yang berbinar-binar itu mengundang tanya. Ada udang di baliknya pasti.
"Maksa ih Aki mah!" gerutunya seraya menaikan ritsleting jumpsuit tanpa lengan motif chevron warna biru tua biru muda.
Aki menggeleng, "Eh, bukan gitu atuh. Ga enak aja masa mereka tau kamu di rumah kamunya enggak gabung? Lagian kasihan Nak Rui enggak ada temen ngobrol. Tau sendiri kan Mira, kalau Aki udah ngobrol sama temen masa muda, jadi lupa segalanya?"
Namira berbalik, "Bantuin. Tangan Mira ga nyampe." pintanya kolokan pada Aki.
Aki menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Cucu perempuan satu-satunya luar biasa cantik dan sudah jadi anak perawan. Tapi, kelakuannya masih saja begini.
"Lain kali ga usah beli baju yang susah dipake atuh!" kata Aki sambil menaikan ritsleting baju Namira.
Namira diam saja seraya menyisir rambutnya. Menggelung rambut memang sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja kali ini ia menggelung dengan lebih rapi dan memilih menjepit sisi rambutnya supaya tidak cepat-cepat merepotkan minta ditata ulang. Setelah mengenakan lotion yang menebarkan wangi lembut di tangan, Namira mengangguk.
"Yuk, Ki. Udah siap Mira."
Aki mengangkat alis, "Itu enggak pake jaket? Punggungnya bolong gitu, Mira! Ganti aja deh kayaknya." katanya begitu menyadari bagian belakang jumpsuit Namira berbahan tembus pandang.
Namira memicing, "Ih! Aki mah! Tadi katanya suruh cepet. Sekarang Mira siap, disuruh ganti bajuu!"
Aki berdecak, "Kamu tuh ngapain beli baju kayak gini? Mana jaket kamu?"
"Di rumah doang ih, Aki! Biar enggak panas! Udah ah! Aki kalo bawel, Mira enggak mau ikutan makan malem!"
Aki memandang jam dinding lalu menghela nafas panjang. Menyerah. Kelamaan menanti Namira, tamunya bisa-bisa jadi kelaparan.
"Ya hayu, atuh."
Namira berjalan di depan seraya menyambar sebuah shawl cardigan bekas jalan kemarin malam di atas kursi. Ia lupa memasukannya ke keranjang baju kotor. Aki menggeleng-geleng sambil mengeluh dalam hati. Bagaimanapun juga tanpa kehadiran ibu, Namira harus diakui sedikit kurang mengerti bagaimana seharusnya seorang anak perempuan menjaga kebersihan. Salah satunya itu, Namira suka tidak langsung bersegera melemparkan pakaian kotornya ke tempat seharusnya. Agak jorok memang.
Mereka beriringin menuruni tangga. Sementara Namira sibuk dengan syalnya, Aki memandang ke arah putra Girda yang tampak begitu terawat. Anak lelaki muda jaman sekarang berbeda memang. Anak muda itu bahkan wangi. Aki jadi ingat bagaimana dulu dirinya dan Girda sering bau matahari dan legam saat seusia itu. Pandangan Aki beralih ke Namira, meski Namira putih bersih begitu sepertinya Aki harus mulai cerewet supaya cucunya ini merawat diri lebih rajin lagi. Demi dirinya sendiri. Tidak lucu kalau anak perawan kalah kinclong dari lelaki muda masa kini.
"Maaf, agak lama buat rayu Mira ikutan. Pemalu sih dia anaknya."
Namira yang tengah tersenyum santun pada teman Aki menahan diri tidak langsung memicing sinis memandang Aki. Kebiasaan banget Si Aki. Senang mencitrakan Namira sebagai gadis pemalu.
"Namira enggak ingat ya sama Om Girda?"
Namira memandangnya. Om? Ya ampun. Teman Aki kan harusnya dipanggil sejajar Aki juga? Kakek atau Mbah gitu. Minimal Bapak. Tidak enak rasanya kalau memanggil Om.
"Om tuh yang dulu suka bawain buah Plum kalau main ke rumah almarhumah Mama loh."
Namira memiringkan kepalanya sedikit. Samar-samar teringat akan sepasang suami istri yang sering mengunjungi rumahnya kala kecil dan memberinya plum. Kala dirinya, Mama dan Papa masih sebuah keluarga yang bahagia. Ia tidak ingat wajahnya tapi sangsi kalau setua ini. Sekarang Namira mengamati wajah Girda Jamal, menyadari kalau lelaki paruh baya ini tidak setua Aki. Ia menoleh pada Aki yang mendekat dan membimbingnya halus agar duduk di kursi.
"Om Girda itu mahasiswa Aki. Tiga tingkat di atas Papa kamu."
Bibir Namira membulat dan ia mengangguk-angguk, "Oh, I see. Jadi bukan teman masa muda betulannya Aki ya?"
Aki tertawa seraya menarik kursinya, "Ya teman juga lah, Mir. Temen mancing."
Namira menoleh pada Girda Jamal, "Jadi Om Girda yang suka barengan Aki kalau mancing di laut?"
"Iya." sahut Girda Jamal.
"Enggak ngerepotin kan Om? Kan Aki gampang masuk anginan."
Tawa Girda Jamal terdengar lepas sementara Aki menggeleng, "Siapa yang gampang masuk anginan?"
Namira tersenyum saja. Seraya ia memperbaiki posisi duduknya, mau tak mau ia melihat ke depan. Mau tak mau juga matanya jadi beradu pandang dengan si Pangeran yang membuatnya kesal sore tadi. Ia tersenyum santun sedikit canggung. Namira mengangguk halus membalasnya.
"Oh iya, ini anak Om. Namanya Mahameru Indar Jamal. Lagi setengah jalan ambil Bisnis Pertunjukan di LA. Kebetulan lagi liburan."
Namira tersenyum pada Girda Jamal meski dalam hati ia berceloteh,
Aku tahu anak Om kok. Sutradara muda kebanggaan negara! Udah jadi alumnus kampus tapi masih tetap terkenal di angkatan aku walaupun sudah jadi mahasiswa di kampus luar negeri.
"Panggil saja Rui." kata si Bapak Sutradara Muda itu.
Namira mengangguk saja, "Namira." katanya memperkenalkan diri dengan formal meski tanpa jabat tangan. Ia tidak berminat berteman dengan eks kakak tingkat di depannya.
"Namira kuliah di mana?"
Pertanyaan Girda Jamal menyelamatkan Namira dari perasaan canggung yang mulai terbit dikarenakan Mahameru itu memandangnya terus. Namira baru akan membuka mulut tapi keburu Aki yang menjawab. Girda Jamal tertawa lagi,
"Almamater Rui ya kan?"
"Iya, Pa."
"Ambil jurusan apa?"
Namira siap menjawab tapi lagi-lagi Aki mendahului.
"Hubungan Internasional. Sama kayak kita. Tadinya dia ngeyel mau ambil Seni Rupa, mana mungkin kan aku bolehin?"