Namira lelah. Ia membayangkan setibanya di rumah, selepas mandi, akan rebahan setelah santap malam. Tak dinyana, ternyata rencananya menjadi sekedar angan-angan. Sewaktu turun dari mobil Kirana, ia masih tersenyum seraya menerima bungkusan siomay dari Pak Yoyok. Dari gerbang menuju teras pun senyum Namira masih terulas sambil melahap siomay dari bungkusan plastik. Sayang senyumnya memudar, kunyahannya pun melambat sewaktu mendapati sebuah mobil terparkir di carport. Pikiran Namira langsung terlempar pada Aki.
Siapa lagi sih?
Muka Namira langsung cemberut dan ia tak menutupinya sewaktu menapaki tangga. Ia sudah mengerti betul kelakuan Aki yang senang menjodoh-jodohkannya dengan anak muda yang datang. Tapi kan, baru kemarin juga ada yang datang. Masa iya sekarang kenalan lagi sama Pangeran dari negeri antah berantah?
Kebiasaan bener emang Aki.
Akhirnya, Namira memilih masuk dari samping. Saat memasuki pintu, ia bisa mendengar suara Aki tengah berbincang-bincang. Tawa Aki juga terdengar. Namira jadi sebal mendengarnya. Ia sekarang bermaksud mlipir diam-diam langsung ke kamar. Sialnya, orang yang sedang mengobrol dengan Aki malah menoleh dan mendapatinya yang tengah siap berjingkat menaiki anak tangga. Namira pun sontak diam saat tahu siapa yang menjadi tamu Aki. Mahameru yang itu, kenapa dia datang lagi?
Melihat gerak gerik tamunya, Aki ikutan berbalik badan,
"Eh, udah pulang cucu Aki. Dari mana aja?"
Namira menegakan diri seraya berusaha menelan habis siomay dalam mulutnya, "Abis kuliah kerjain tugas dulu bentar di kampus." katanya sedikit tak jelas.
Aki mengangguk lalu mengangkat alis. Namira itu paling tidak bisa berbohong. Apalagi kalau sambil dilihat Aki dengan tatapan seperti itu dari balik kaca matanya.
"Terus iseng sama Juju sama Kiran mampir ke kedai Japanesse Purin yang di ruko depan situ. Baru buka, Ki. Masih promosi. Bentar doang kok, ga nyampe dua jam."
"Oh, gitu. Enak gak?" tanya Aki.
Namira mengangguk, "Enak banget! Terus, ya, saus kacang merah isian Taiyakinya juga otentik sama yang di Osaka!" tuturnya bersemangat.
Aki tersenyum, "Oh ya? Kok Aki enggak dibeliin?"
Ampun, Aki. Namira langsung bungkam. Kalau tidak ada tamu, biasanya ia akan mengomeli Aki. Itu modus Aki biar nanti Namira mengajaknya jalan sebentar selepas senja. Tapi ini ada tamu.
"Tuh, kebiasaan Namira mah, Nak Rui. Senengnya bikin orang ngiler. Cerita doang, beliin kagak."
Namira menahan sebisa mungkin supaya tidak pasang muka datar. Mahameru memandangnya, jelas sekali ada senyum geli yang ditahan di wajahnya. Namira sekarang menahan diri lebih kuat lagi, supaya tidak memicing pada lelaki muda itu. Aki tertawa kemudian kembali memandang Namira.
"Udah, sana mandi. Eggak pake lama. Nak Rui mau minta tolong kamu temenin ke, acara apa ya, Nak Rui?"
"Opening Ceremony untuk Biennial Arts Performance Collaboration di Selasar Purna Rupa, Pak Tara."
Namira terdiam. Dia tahu acara itu dan tadinya ia ingin datang. Sayang, Kirana dan Julaeha tidak mau menemaninya. Seharusnya ia senang mendapati kesempatan ini. Tapi, entahlah, ia jadi malas sekarang. Ia tiba-tiba merasa mengantuk.
"Seni rupa kalau jadi hobi memang bagus, Nak Rui. Itu Namira ya ampun kalo udah ngelukis, duh, bisa enggak mandi dua hari. Kadang juga dia ga ngerasa ada cat di mukanya. Pasti seneng kan ya, Mir? Diajakin ke acara Seni Rupa?"
Namira seperti tengah kena serangan musuh. Ia memandang Aki dan tersenyum, "Iya. Mira ke atas dulu."
"Jangan lama-lama ya, Mir? Kasihan Nak Rui kalo kena macet. Dia nyetir sendiri. Eh, acaranya setengah delapan loh."
Namira tidak menyahuti Aki. Hanya dalam hati dia merutuk. Bodo amatlah mau nyetir sampai pingsan juga. Ini kenapa sih bisa jadi begini? Kan harusnya ini dia bisa istirahat sekarang. Santai rebahan sehabis mandi nanti. Rebahan sambil memikirkan mengapa hari ini hatinya beraktifitas lebih banyak gara-gara senyum dan mata kelabu kehijauan si Rambut Merah. Sesungging senyum terbit di wajah Namira. Hanya sebentar karena raut wajah Mahameru melintas merusak suasana.
Orang itu, kenapa kepikiran mengajaknya ke sana sih?
*
Acaranya seremonial telah berlalu, dan kini undangan tengah disuguhi tampilan musisi. Sebagai bagian dari Performance Arts, music etnik Timur berpadu padan lantunan seruling Sunda mengantar kisah epos yang dinarasikan secara ekspresif oleh sang Vokalis. Namira selalu senang mendengar suara Sasando dan siapa tak terbuai lirih seruling? Kisah Nawang Wulan dan Jaka Tarub tradisi Jawa direspon modern. Siapa yang memberi hak Jaka Tarub sembunyikan selendang? Belum cukup, mengapa Jaka Tarub tak menepati janjinya pada Nawang Wulan untuk tidak mengintai? Kebetulan Bienniale ini merayakan pencapaian para perempuan hebat. Menteri-menteri perempuan dan pengusaha perempuan diundang. Namira cukup menikmati acaranya sampai akhirnya ia menyadari datang dengan siapa.
"Hai!"
Namira menoleh kemudian mendapati dua orang yang bergandeng tangan menyapanya, "Kamu datang sama Bang Rui kan?"
Namira sejenak terkejut sebelum mengangguk santun.
"Ih, pantes ya dia landing dari LA ga keliatan keliaran, nemu Muse naga-naganya!"
Naga-naganya? Namira tercengang memandang lelaki berkacamata bulat dengan stelan bermotif bunga. Bahasa tahun kapan itu naga-naganya? Bahwasanya Namira diskonek, tidak bisa disalahkan.
Temannya menepuk lengannya, "Dia baru kayaknya liat kita. Kenalin, Unga, MUA professional yang biasa dipake Bang Rui buat film. Dia, Vivi Berkah, asisten wardrobe mbak Damai Retnasari yang udah dapet piala Citra empat kali berturut-turut tanpa henti."
Vivi Berkah. Baiklah.
Vivi Berkah menurunkan kacamatanya, mengamati Namira seksama, "Ih, ceu. Aku mah yakinnya gitu deh. Talent baru ini. Liat tuh, kulitnya yahud. Jadi ada aura Korea-koreanya gitu. Ceuceu juga pasti gampang tuh make upnya. Blush-blush-tint, jadi! Kan katanya kemarin Bapak Chancan mau bikin lagi teens movie dari dongeng wattpad, no?"
Namira mengedipkan mata. Dua orang ini mulai membuatnya bingung.