Mahameru tengah menanti di ruangan Pak Chanchan. Janji temunya masih lima belas menit lagi dan Pak Chanchan pun masih melakukan rapat dengan seorang calon investor di lantai dua. Dengar-dengar ada kerjasama besar yang tengah dijajaki oleh bos besarnya itu.
Seseorang menyodorkan secangkir Teh Madu dan camilan.
"Bapak sebentar lagi, Mas. Tapi, inget, moodnya lagi ga bagus."
Mahameru memandangnya bertanya, tak seberapa lama perempuan itu menoleh ke belakang, celingukan dan memajukan wajahnya lalu berkata pelan,
"Pak Chanchan kedatengan investor. You know lah, Mas! Investor yang mikirnya tanem modal sama dengan punya kuasa Produser?"
Mahameru membeliakan mata jenaka seraya tertawa memaklumi. Itu informasi yang cukup untuk menjadi bekal menghadapi Pak Chanchan. Dia membalas dengan berkata,
"Makasih banyak ya, Mbak Debbie."
Perempuan itu menyunggingkan senyum lebar, "No problem, Mas. Oh ya, omong-omong, siangnya juga mau ada content creator ketemu Bapak. Kata Bapak, antara novel Wattpad atau salah satu content tuh anak, gimana performa mereka hari ini. Youtuber terkenal katanya nih anak."
"Masa?" respon Mahameru terkejut.
Ini info baru. Karena, beberapa kali gagal dengan materi solid di Youtube, kebanyakan Produser menjauhkan diri sekarang dengan alasan cuannya tak sesuai harapan. Ditambah pula, rata-rata film yang berangkat dari Youtube selalu menjadi bahan caci maki kritikus dan reviewers. Netizen maha asik pun tumben kompak dengan mereka. Yang akhirnya malah menciptakan adu komentar antara fans yang menganut harga mati bahwa junjungannya selalu hebat dan benar tanpa cela, dengan penikmat decent movies Tanah Air yang kalau sudah terbakar emosi berkoar tentang minimnya selera mereka. Sudah diduga akhirnya adalah saling mencaci secara personal. Fenomena yang tidak pernah bisa dipahami Mahameru. Jadi, ia tertarik dan memandang Mbak Debbie bertanya.
Mbak Debbie mengangguk-angguk sambil tersenyum bersemangat, "Tau ga, Mas, content creator ini anaknya manis bangeeet!. Aku jadinya doa biar content dia yang kepilih biar bisa sering-sering liat dia." selorohnya.
Mahameru tertawa, "Dasar Mbak Debbie."
Mbak Debbie tertawa lepas sebelum akhirnya ingat masih punya banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.
"Ya udah ya, Mas. Aku tinggal dulu." pamitnya.
"Ok."
Sepeninggal Mbak Debbie, Mahameru membuka gawainya, memeriksa banyak pekerjaan sambil mengintip untuk ke sekian kalinya pesan yang tak kunjung dibalas Namira. Mahameru tersenyum miris, mencoba memahami kemungkinan Namira terganggu. Akhirnya, sebelum merasa konyol, Mahameru kembali pada pekerjaannya, mengontrol beberapa divisi di departemen produksi yang telah memulai kerja. Divisi-divisi yang melakukan persiapan sebelum syuting digelar. Sebelum penterjemahan naskah menjadi breakdown berujung jadwal dan calling sheets. Masih ada juga recce dengan sebelumnya survei lokasi. Yang ujung-ujungnya perijinan legal dari pemerintahan juga penduduk setempat, kasat maupun tidak.
Awam seringnya berpikir kalau film hanyalah urusan naskah serta casting berwujud selebriti yang mereka suka untuk mendebarkan dada dan sesuai fantasi mereka. Sering menilai tugas Sutradara adalah sekedar memerintahkan Pelakon beraksi sesuai alur cerita. Padahal, tugas Sutradara adalah memimpin dari awal persiapan sampai dibungkus. Dari memilih orang-orang utamanya sebelum proses dimulai sampai pasca produksi yang melebur dalam manajemen semisal pasang badan buat promosi. Sampai profit kembali ke produser sesuai target. Sutradara juga mengalami tahap uji coba kelayakan. Dari film budget rendah yang diapresiasi baik dan menghasilkan cuan, sampai proyek budget besar yang hasilnya wajib signifikan. Idealisme itu selalu terpakai untuk produksi mandiri. Untuk industri, pintar-pintarlah menempatkan diri. Soalnya idealisme itu hasil pemikiran. Dan, sebuah pemikiran tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Seniman sukses itu adalah seorang yang karya terbaiknya bisa meyakinkan orang-orang menerima bahkan membenarkan idealismenya.
Baik tidaknya suatu karya seni tidak pernah bergantung rasa suka penggemar.
Nilai di atas memang berlaku untuk semua seni murni yang dibuat untuk memenuhi tujuan seni sendiri sebagai sebuah pemikiran Pembuatnya, tentu saja. Kalau untuk seni terapan yang lintas bidang macam pertunjukan hiburan, tentu sudah lain cerita. Apalagi kalau sudah masuk ranah industri hiburan macam film. Garis bawahi industri hiburan. Itu sudah pasti artinya materi yang diproduksi untuk menghibur. Cara menghibur, itulah letak seninya bukan pada pemikiran seninya. Jadi, film memang diciptakan untuk menghibur. Kalau pada akhirnya menjadi sebuah media untuk menyuarakan sebuah pemikiran, tidaklah haram sama sekali. Yang penting, peka siapa targetnya.
Sudah tentu juga ada tantangan yang akhirnya lahir dari bentuk film sebagai media industri yang memuat aspek-aspek seni. Ada harga diri yang tinggi kala sebagai Orang Film bisa menyuguhkan pemikirannya dengan cara yang membuat senang penonton filmnya sampai akhirnya penonton membenarkan pemikiran dasar yang ingin disampaikan film tersebut.
Prestige dari karya masterpieces mereka.
Itu yang dikejar semua Seniman. Ada nilai puncak yang dipahami bersama tentang seni yang terbaik adalah "ide sulit" yang diterima oleh audience dan kritikus sekaligus. Kritikus itu adalah lembaga yang meletakan batas minimum kelayakan segala sesuatu. Sayang sekali, masa sekarang ini kritikus sering dicibir sebagai pihak yang sombong dan menyulitkan. Jadi, maklum saja masa sekarang ini banyak sekali materi yang mengaku-aku sebagai Karya Seni meski tidak sesuai standar. Berkoar dengan alasan Seni adalah subjektif dan personal.
Padahal sebenarnya sudah jatuh jadi manja saja tak sanggup mengejar standar. Karena subjektifitas Seni Murni berlaku hanya untuk orang-orang yang dengan pemikiran idealisme berpadu movement macam Andy Warhol, Basquiat dan Banksy di ranah Modern Arts. Jika tak terbayangkan, abaikan saja. Artinya kau tak paham sedikitpun tentang dunia Seni Rupa sama sekali. Tak masalah, hidup itu bergulir. Akan terus bergulir tanpa Seni Murni sekalipun. Resikonya paling sekedar dahaga kehilangan ranah mencurahkan kegelisahan hati dengan bergaya.
Kembali pada Mahameru, tentu ia berjiwa Seni. Tapi, dia sangat kuat dalam mengatur orang-orangnya. Di lapangan, sebagai Sutradara yang punya kepemimpinan kuat, ia bisa memotivasi orang-orangnya dengan jauh lebih efektif daripada saingannya. Efektifitas penting dalam berkarya karena berujung perhitungan modal yang harus dikeluarkan. Maka dari itu seorang Sutradara tidak pernah bisa berdiri sendiri. Mereka selalu mempunya asisten-asisten yang menjadi perwakilannya untuk membawahi departemen-departemennya.
Film memang sekedar hiburan, ditonton orang-orang untuk sedikit lepas dari keseharian mereka. Tetapi, para film makers itu justru orang-orang yang hidup dalam dunia yang bergerak cepat dengan tekanan kesempurnaan yang tinggi. Kewajiban di dunia ini adalah minimkan kesalahan dan buang-buang waktu karena semua selalu jatuh pada perhitungan biaya. Semua Produser selalu suka budget mepet tapi cuan balik maksimal.
Ah, sedikit lucu. Nyatanya tidak hanya para Produser film juga sebenarnya yang punya aturan macam itu. Semua orang di dunia memang begitu dasarnya. Sifat dasar manusia itu memang kapitalis murni: mendapatkan keuntungan maksimum dengan upaya minimum. Jadi, jangan suka teriak-teriak anti kapitalis kalau mereasa diri sendiri masih mengharapkan ada barang gratisan dengan kualitas terbaik. Malu.
Mahameru masih belum masuk ke ranah casting. Yang tengah ia evaluasi ini juga bukan filmnya yang diproduseri Pak Chanchan. Ini adalah karya yang ia persiapkan untuk sekaligus menjadi bahan kajian kelulusannya setahun lagi. Mungkin akan molor tiga bulan kalau ia memproduksi film ini tapi tidak apa sedikit telat kalau bisa menyempurnakan predikat kelulusannya. Ia bermaksud sekaligus menjadikan film Tugas Akhir nanti sebagai portfolionya. Sebuah film semi dokumenter tentang pandangan bocah-bocah mixraces memandang dunia ini. Sedang serius-seriusnya Mahameru membaca draft naskah XXXVIII yang diusulkan Penulis Naskahnya, ia dikejutkan pintu yang terbuka tiba-tiba dan suara tawa membahana khas Pak Chanchan.
"Ah, kamu itu! Masa iya sungkan masuk kantor saya?"
Mahameru mengangkat wajahnya. Ia mengernyit melihat Pak Chanchan merangkul seorang remaja berambut merah yang berwajah serba salah. Mata mereka bertemu.
"Rifky?"
"Bang Rui?"
Pak Chanchan memandang mereka berdua, "Kenal?"
Baik Mahameru dan Rifky mengangguk bersamaan. Pak Chanchan manggut-manggut lalu berjalan sambil masih merangkul kasual pundak Rifky.
"Pernah kerja bareng kamu orang berdua? Kok saya tidak pernah dengar?" tanyanya menyelidik.
Mahameru bangkit dan menuruti Pak Chanchan yang memintanya mengikuti mereka lewat gerakan kepalanya.
"Enggak, Pak. Bang Rui sempet magang di kantor Papa dulu waktu masih muda."
Mahameru melirik Rifky, "Aku belum tua, Rifky."
Rifky terkekeh, " Iya, iya. Waktu dia masih kuliah, Pak. Tau gak, kaget loh bisa ketemu Bang Rui."
"Jadi kamu kenal baik Sutan sebenarnya, Rui?" tanya Pak Chanchan.
Mahameru urung menanggapi Rifky. Ia mengangguk dan menjawab Pak Chanchan, "Iya. Kenapa, Pak?"
Pak Chanchan berdecak, "Kenapa enggak pernah bilang-bilang?"
Mahameru mengangkat bahu, "Enggak ditanya."
"Ya kan bisa omong-omong sombong gitu kamunya dari awal kalo kenal Sutan. Jadinya saya enggak harus uji-uji kamu pake film kecil dua kali dulu itu. Gimana sih?" omel Pak Chanchan.
Mahameru tertawa sambil mengambil tempat di sofa. Mereka sudah dalam ruangan Pak Chanchan yang luas sekarang. Rifky mengambil tempat di sebelahnya. Dengan seringai lebar ia memandang jahil Mahameru. Katanya,
"Pak Chanchan ga ngertiin lo, Bang. Kalo lo pengen diakui tanpa embel-embel siapapun."
Pak Chanchan tertawa keras, "Alah, basi kayak gitu. Saya kesal banget waktu tau Rui anak Girda Jamal. Sekarang tambah kesal sama dia tau pernah jadi murid bapak kau!"
Rifky terperangah, "Kenapa, Pak?"
"Baru ngerti saya kenapa dia bisa pinter banget kalo perform depan investor. Pantesan ya dari awal berani nantangin bakar uang buat modalin film dia yang gak mainstream itu. Ada Naga di belakang punggung rupanya. Ngeselin kamu, Rui."
"Alah, kayak Bapak gak kurang ngeselin juga. Dari awal jadi produser kok cuma mau modalin yang ga mainstream. Taunya, anak siapa juga kan yang dimodalin?" seloroh Rifky.
Mahameru terkejut dengan keberanian Rifky sampai perlahan ia menoleh memandang Rifky guna memberinya tatapan memperingatkan.
"Tenang aja, Bang. Gue belain lo ini."
Mahameru menahan diri tidak mengomel mendapati respon Rifky yang malah begitu. Untung saja Pak Chanchan terbahak sambil mengambil satu bundle kertas yang berklip hitam besar lalu duduk di hadapan mereka. Mahameru lega, mungkin karena Pak Chanchan kenal baik ayah Rifky makanya tidak sampai tersinggung.
"Tebal amat, Pak?"
Pak Chanchan mencebik sambil mengangguk mengiyakan Rifky. Ia membolak balik bundle kertas itu lalu melemparkannya ke atas meja.
"Kamu Rui, coba pelajari itu."
Mahameru berjengit namun tetap meraihnya, "Naskah Harry Potter ini?" guraunya iseng.
Rifky tertawa sementara Pak Chanchan mendengus,
"Itu ada penulis gila kirim tiga bulan kemaren. Saya otomatis ga buka dong. Otak di mana bikin naskah film sampek 1500 lembar gitu? LOTR aja bisa panjang karena novelnya udah mendarah daging dari taun seribu sembilan ratus lima empat. Itu juga kejadiannya di luar! Ini Indonesia, penontonnya masih rata-rata, sukamya sama yang orang lain suka juga. Yang viral disebut bagus padahal ga tau standar bisa disebut baik tuh gimana. Belum punya pendirian. Kita kan belum bisa bentuk penggemar loyal yang mau aja bayar kalau tiketnya dimahalin. Yang gitu-gitu ambyar di kita tuh. Bakar cuan beneran saya kalau mentah-mentah bikin itu."