Mahameru tertawa saja menanggapi kejenakaan Rifky seraya membuka pintu mobilnya. Rifky pun gesit tak ingin mengulur waktu. Ia senang bertemu Mahameru. Selain tumpangan gratis ini, tentu saja karena ia jadi bisa mengobrol bahkan meminta saran. Ia tahu Mahameru sudah berjalan di jalur yang dicita-citakannya. Karirnya pun menjanjikan. Meski lama tak bersua, Rifky masih sempatkan waktu mengamati Mahameru serta teman-teman lainnya di tanah air dari kejauhan. Lewat media sosial -atau terkadang lewat aplikasi, pesan-pesan sapaan masih sering ia kirimkan. Jadi, dalam kabin mereka wajar saja berbicara tanpa kecanggungan. Keseriusan Rifky menanggapi saran-saran tambahan Mahameru untuk menghadapi Pak Chanchan dan teman-temannya nanti malam berselingan dengan candaan kasar saling mereka lemparkan. Mereka memang cukup dekat mengingat dulu -sebelum benar-benar jadi anak magang di stasiun berita milik ayah Rifky, Mahameru sempat dikerjai untuk menjadi Asisten Pribadi selama sebulan. Selanjutnya, kedekatan Mahameru dan keluarga itu makin personal. Hanya kesibukan sajalah yang menjadi jarak antara mereka.
"Bucin juga kamu ya? Abang pikir setelah jadi globalist kamu tuh jadi seorang remaja berhati dingin."
"Globalist apa sih, Bang? Ngaco banget pake istilah sok berat gitu! Ya gimana? Jatuh cinta lah kalau dianya cantik terus punya sikap gitu. Dia bilang kalo sampe gue terbukti ngebosenin bakal diputusin. Nyebelin gak?"
Mahameru tergelak, "Ngebosenin gimana?"
"Dia bilang enggak suka cowok anak orang kaya yang ngedeketin dia karena semuanya predictable. Mudah dibaca, mudah dipetakan, sampai dia ambil kesimpulan enggak punya kepribadian mereka itu, coba. Bikin penasaran gak?"
"Kejam pacarmu, Rif."
Rifky tertawa. "Iya. Tapi itu yang bikin aku tertarik malah. Aku jadi pengen tau, aku ini bener ngebosenin gak kalo menurut dia."
Mahameru menggeleng-gelengkan kepala, "Selama kamunya enggak memaksa diri jadi sesuai yang dia mau, ya OK aja itu."
"I know. Dia juga bilang penasaran kenapa aku itu anomali dari teori dia."
Mahameru berdecak, "Ah! Senangnya jadi anak seumur kamu ya? Masih bisa penasaran. Ga rumit."
Rifky mencibir, "Sok dewasa, Bang Rui!"
Tawa Mahameru terdengar seiring mereka memasuki gerbang kampus Rifky, almamater Mahameru.
"Di mana dia nunggunya?"
"Kantin Mang Hasan."
Mahameru mengangguk. Tempat itu juga menjadi tempatnya mangkal bersama teman-temannya dulu di sela jam kosong. Ia langsung mengarah ke sana karena rektorat pun tak jauh dari kantin tersebut. Pikir Mahameru, memarkir mobil di area kantin yang dipunggungi gedung rektorat itu akan mendukung niatannya sekedar mengamati lingkungan sekitar. Sekaligus sedikit bernostalgia. Siapa tahu juga ia bisa melihat Namira dalam kesehariannya. Mahameru yakin kalau gadis itu akan tetap cantik tapi ia tetap saja penasaran ingin tahu. Agak tidak masuk akal kalau ia pikir-pikir lagi memang. Tapi mau bagaimana? Kalau Rifky bilang tadi "jatuh cinta lah" karena pacar barunya ini cantik dan punya sikap. Hukum yang sama berlaku juga untuk Mahameru terhadap Namira: jatuh cintalah karena Namira cantik.
Mahameru turun dengan map di tangan lalu melangkah. Ia mendapati gelagat Rifky yang kelihatan jelas tengah mencari-cari seseorang di sekitar kantin yang tengah ramai. Mahameru hanya mengulum senyum mendapati tingkahnya. Khas sekali orang jatuh cinta tak sabar berjumpa pujaan hati. Saat tadi mereka berdua keluar dari mobil, keduanya sadar ada jeda sejenak dari orang-orang yang mendapati kehadiran mereka. Keduanya telah biasa. Mata Rifky langsung terarah ke bangku batu di bawah pohon Ketapang. Ia tersenyum kemudian menoleh pada Mahameru. Rifky menggedikan dagunya meminta Mahameru ikuti ia berjalan menuju sekelompok gadis belia yang tengah berkumpul di salah satu ujung bangku batu. Mahameru mengikuti Rifky sambil menahan senyum geli. Bocah itu kelihatan tak sabar dan antusias sekali. Seakan ingin cepat-cepat memamerkan pacar barunya yang ia gambarkan luar biasa dalam obrolan di mobil tadi.
Mahameru mengunci pandang kala semakin jelas siapa yang Rifky tuju. Sekarang, Mahameru malah mengkerutkan alis dengan perasaan sedikit tak enak dengan mata mengarah pada seorang gadis yang mengenakan sweater longgar hitam. Rambutnya tergelung ke atas sehingga memperlihatkan lekuk leher indahnya. Rifky membuka gelungan rambutnya sebelum menyela duduk di antara gadis itu dengan temannya. Tatap dan senyum mesra Rifky berikan saat gadis itu menoleh. Mahameru yang kini hanya satu langkah darinya merasakan debaran hati tak beraturan.
"Hei."
"Ngagetin ih, Iki!" gerutunya manja.
Rifky tertawa mendapati pelototan kesal gadis cantik yang leher jenjangnya kini tertutupi rambut legam lurus itu. Mahameru tidak merespon kala Rifky meliriknya memberi kode halus bahwa inilah gadis yang ia puja puji sepanjang jalan tadi. Gadis itu jadinya menyadari kehadiran Mahameru dan mendongak. Mata mereka bertemu, menciptakan sejenak adegan saling tatap berujung mematung saling terkejut. Tidak, Namira tidak mematung, ia sekedar terkejut. Mahameru sajalah yang sempat mematung dan terkejut luar biasa dengan perasaan tak nyaman.
"Kenalin, Nami. Abang aku yang Sutradara terkenal."
Mahameru masih terpaku sejurus pada mata Namira sampai kemudian alis gadis itu terangkat,
"Kak Meru? Ngapain? Kok bisa barengan dia, Iki?" tanya Namira yang langsung beralih pada Rifky tanpa mengerti kebekuan sejenak di wajah Mahameru yang mengeras rahangnya.
Rifky menoleh memandang Mahameru sejenak lalu kembali pada Namira.
"Kenal?"
Mahameru tersadar. Ia berdehen sebelum tertawa kecil, "Cucunya Pak Uttara Mirsyad kan? Namira Mirsyad. Kamu tau kan beliau guru Papa aku, Rif?"
Rifky berpikir sejenak sebelum mengangguk-angguk mengerti. Namira memandang Rifky, masih dengan pandangan bertanya dan ekspresi terkejut. Rifky tertawa kemudian bertutur menjelaskan,
"Bang Rui masih abang aku."
Namira sekarang menelengkan kepala sambil mengangguk-angguk mencoba memahami.
"Kenal pertama kali pas Bang Rui magang sama Papa aku. Lumayan lama sampe aku sering banget ikutin Bang Rui ke mana-mana waktu kecil." lanjut Rifky.
Namira menggumam sekarang sambil memahami tengah mengalami lagi hukum dunia selebar daun kelor. Ia menoleh pada Kirana dan mencari wajah Juliette yang tadi di sebelahnya sebelum Rifky datang.
"Jadi kenalan ga, Juju?"