Betapa Membosankannya Para Pangeran

Aubrey Rachman
Chapter #9

9 || Simpan Perhatian

Namira tengah kesal pada Aki yang berulah bak telah menjadi kakek-kakek. Baiklah, Aki memang seorang kakek, umurnya juga sudah hampir 70 tahun. Akan tetapi, Namira tahu benar selama ini Aki itu tergolong sehat, segar bugar, dan awet muda di antara teman sejawatnya. Ingatan Aki itu masih tajam, serius. Malah terkadang Namira yang sering lupa dimana meninggalkan gawainya suka minta bantuan Aki mengingat. Jadi, ulah Aki yang seharian mengulang permintaan agar Namira menemaninya malam nanti ke bandara bikin jengah juga. Sedari kemarin sebetulnya Aki berulah macam itu. Semenjak Namira pulang dari kampus. Sejak Namira mengurung diri di kamar sambil menunggu kabar baik dari Rifky yang tengah berjuang membuka jalan untuk pekerjaan masa depannya, Aki sudah mulai rewel. Alih-alih berdebar akibat antusiasme penantian kabar baik pacar tersayang, Namira malah jadi buruk perasaannya. Aki akhirnya sukses merusak momen suka cita atas sinyal positif masa depan yang Rifky sampaikan itu. Benar-benar Aki ini tingkahnya. Membuat Namira berpikir Aki memang sengaja akibat tak merestui dirinya punya ikatan dengan Rifky.

"Aki! Ini baru jam dua siaaaang!" gerutu Namira yang barusan disuruh mandi oleh Aki.

"Eh, siap-siap dari sekarang aja atuh. Kan macet kalo berangkatnya mepet jam pulang kantor."

Namira mengerang sambil menjatuhkan dirinya ke sofa.

"Mir? Mira? Eh, jangan tidur, Mira! Sana mandi! Masa mau ketemu orang penting kamu enggak rapi?"

Namira pura-pura tidak menggubris padahal dalam hati mengomel panjang lebar. Aki keterlaluan. Selain memaksa dan mengacaukan perasaan baiknya, Aki juga tidak seperti biasanya. Namira tahu benar Aki itu tidak mudah terpukau dengan frasa "orang penting". Wajar saja sebenarnya karena Aki terlalu sering ketemu orang penting yang ujung-ujungnya kembali tidak penting sementara Aki tetap menjadi seorang guru dan sesepuh tempat beberapa orang penting silih berganti meminta pertimbangan. Bahkan Aki saat dulu diundang ke Istana Bogor saja Aki tidak heboh seperti ini. Waktu itu Aki hanya meminta Namira membelikannya kemeja batik resmi yang modelnya lebih kekinian. Jadi, siapakah gerangan orang penting kali ini sampai Aki heboh harus menyambangi bandara segala?

"Mira? Namira?"

Namira menghela nafas panjang sebelum mengangkat punggungnya dan duduk menghadap Aki. Sejenak Namira memandang seksama fitur Aki. Ia cukup terkejut kala menyadari kalau Aki sedikit kurus. Terkadang, terhadap keluarga dekat, memang kita suka abai akibat tiap hari bersua. Padahal, kalau ditelisik, suka ada saja perubahan dari mereka. Sebuah helaan nafas sekali lagi terdengar dari Namira. Ia bangkit dan menyeret kaki malas-malasan menuju kamarnya.

"Iya, Aki. Ini Namira mau mandi sekarang."

Begitu katanya yang meski cemberut dan setengah hati tetap menuruti Aki. Namira memang begitu. Sekesal atau semarah apapun pada Aki, ia akan selalu berusaha menjadi cucu yang baik. Ia pun tahu Aki memahaminya kalau ia memang berusaha menjadi cucu yang menghormati kakeknya. Namira itu dibesarkan Aki, masa iya dirinya akan membangkang demi hal remeh temeh begini? Tidak menyulitkan juga sebenarnya menemani Aki menjumpai orang penting dan keluarganya di bandara. Walau malas, tidak ada salahnya mengalah. Siapa tahu di jalan Aki tiba-tiba kepingin nostalgia kulineran di sekitar Kelapa Gading. Lumayan itu kalau kejadian.

"Ya muka kamunya masa gitu? Cambetut(1)?"

Namira menggerutu sebelum akhirnya memasang senyum kala memandang Aki.

"Ah, kamunya akting itu. Pura-pura ridho."

Namira mendecih, "Aki mah ya, seneng banget bikin badmood! Julid!"

Aki tertawa lepas seraya mlengos menuju kamarnya dengan wajah sumringah. Berbanding terbalik dengan sang Cucu yang kini menapaki anak tangga dengan langkah menghentak. Aki memang ahlinya memanipulasi. Itu sebuah fakta. Mungkin kebiasaan Aki itu akibat ia terbiasa berdiplomasi dengan banyak pihak asing. Misi Aki saat berdiplomasi itu adalah sebisa meungkin memposisikan pihaknya dalam posisi tawar yang baik. Apalagi kalau sudah melakukan kerja negara. Namira paham benar itu. Untung saja ia seorang cucu yang welas asih dan santun jadi ia tidak sampai hati meledak kalau Aki mulai pakai ilmu manipulasinya dalam keseharian mereka.

*

Manipulasi. Itu kata kuncinya. Namira meralat dirinya welas asih dan penyayang sekarang kala tahu siapa orang penting yang dimaksud Aki. Ia memaki dalam hati kalau dia adalah cucu bodoh yang berulang kali sukses diakali kakek sendiri yang suka memanipulasi kasih sayangnya. Sumpah mati, Namira tidak akan mau mempertimbangkan seorang Diplomat macam Aki untuk jadi kekasih apalagi pasangan sehidup semati! Makan ati!

Namira kesal, benar-benar kesal. Berhadapan dengan si Orang Penting yang dimaksud Aki, Namira bisa memasang muka datar untuk mengekspresikan ketidak sukaannya. Sayangnya, menghadapi Girda Jamal beserta istri dan putrinya -kakak Mahameru, Namira harus mengalah. Mana mungkin ia pasang muka julid menghadapi orang yang lebih tua ataupun orang yang tak tahu menahu ulah Aki. Ya, tepat sekali! Orang penting yang dimaksud Aki adalah Mahameru dan keluarga. Namira tak tahu serapah apa lagi yang bisa ia teriakan dalam hati. Sementara tadinya ia punya rencana berduaan Rifky sore tadi, wajar saja sekarang ia merasa tengah dirundung malang.

"Ya ampun! Namira mirip sekali sama Mama ya?"

Namira tersenyum canggung. Semua orang yang mengenal mendiang ibunya selalu berkata begitu.

"Udah gede gini. Masya Allah. Tante minta maaf ya ga sering-sering datang nengokin kamu. Habis, sampai tahun kemarin, Tante ngikutin bapaknya Meru dinas. Eh, kamu udah punya pacar?"

"Mama jangan to the point gitu dong, nanti Namira malu." seloroh kakak Mahameru.

Tawa Aki, Girda Jamal, Hanifah Jamal terdengar. Sementara kakak Mahameru hanya tersenyum lebar memandang ke Mahameru yang pasang muka tak enak. Namira? Tentu kembali mengulas senyum yang semakin canggung. Untung saja kakak Mahameru mengamit tangannya lalu menjabatnya langsung sambil berkata,

"Aku Indira Yassa Jamal, kenalkan. Panggil saja Mbak Yass, okay?"

Namira terkejut tapi ia lega karena orangtua Mahameru yang memandanginya sedari tadi membuat ia salah tingkah. Tingkah kakak perempuan Mahameru menghilangkan gugup yang nyaris muncul pada dirinya. Sambil tersenyum lega, Namira mengangguk pada Mbak Yass dan berkata,

"Salam kenal Mbak Yass. Aku Namira, biasa dipanggil Mira atau Nami."

Aki menepuk pelan punggung Mahameru, "Jam berapa harus masuk?"

Mahameru melirik arloji di pergelangan tangannya, "Jadwalnya pukul 19.30, Pak."

Aki manggut-manggut, "Oh, sebentar lagi ya? Duh, maaf ya kami telat."

"Harusnya telat aja sekalian!", batin Namira.

Aki menoleh pada Girda Jamal, "Batal ya kita mancing sama anak-anak? Mahameru keburu ke LA."

"Bukan batal. Diundur." tutur Girda Jamal.

"Oh, iya, iya. Setuju." ujar Aki.

Suara tawa dua lelaki beruban meledak bersamaan. Lalu -entah bagaimana, mereka berdua tenggelam dalam obrolan seru bersama Hanifah dan Mbak Yass sambil menjauh perlahan. Meninggalkan Namira yang telat menyadari manipulasi lanjutan Aki jadi berduaan dengan Mahameru. Namira diam tak tahu mau apa kala mendapati Mahameru sendiri sibuk dengan perangkat komunikasinya. Ia juga tidak punya alasan bangkit menjauh. Sial benar Namira malam ini.

"Rifky sukses mengesankan investor. Dia cerita?"

Namira yang baru terjatuh dalam lamunan andai-andai ia tak terjebak skenario Aki ini, terkejut. Ia tak menyangka Mahameru bertanya.

"Hah? Apa?" tanyanya.

Mahameru tersenyum seraya menutup gawainya, "Rifky cerita enggak kalau dia dapet sinyal bagus dari investor?"

Namira sejenak mencerna lalu tersenyum dan mengangguk, "Iya, Kak. Iki cerita kemarin. Seneng banget dia. Makasih ya."

Giliran Mahameru yang sekarang tak mengerti, "Hah? Makasih? Buat apa?"

Namira tertawa kecil, "Terimakasih untuk saran-saran Kak Meru buat Iki. Dia cerita kalau Kakak kasih dia banyak saran."

Mahameru terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk, "Ah, itu ya- Bisa aja Rifky. Aku cuma kasih saran umum kok. Memang materi sama persona Rifkynya aja yang udah bagus."

"Itu sih udah pasti, Kak."

Mahameru tertawa mendengarnya meski sedikit miris mendapati nada bangga di ucapan Namira barusan. Walaupun tidak salah Namira begitu karena Rifky adalah kekasihnya, tetap saja Mahameru tak suka.

"Aki udah setuju?"

Namira mencebik sambil memutar bola mata, memancing tawa geli Mahameru terdengar. Namira ekspresif ternyata, menggemaskan. Mahameru sampai harus sekuat tenaga menahan diri agar tidak sampai menjulurkan lengan mengacak puncak kepalanya.

"Aki itu maksa banget supaya aku ikut, Kak. Pakai manipulasi bilang mau ketemu "Orang Penting" segala!"

Mahameru tersenyum tipis. Hatinya tercubit karena tersadar kalau Namira memang tak berniat menjumpainya yang hendak selesaikan urusan di LA sekarang ini. Tapi, ia maklum. Siapa dirinya untuk Namira selain lelaki yang harus terpaksa dikenalnya?

"Padahal ya, kalau Aki jujur ngomong minta ditemenin nganterin kakak ya aku temenin kok."

"Masa?"

Namira diam sejenak. Sedikit tak enak ia meringis sambil menggaruk leher yang tertutupi rambut panjangnya.

"Mungkin enggak juga sih. Ngeselin soalnya. Berasa sedikit maksa Aki tuh. Aku harus kenal Kakak gitu."

Mahameru tertawa saja. Namira menghela nafas sambil bersandar pada bangku yang nyaman.

"Kepikiran ya mereka, Kak?"

"Apa?"

"Aki sama Pak Girda."

"Kenapa?"

"Jodoh jodohin kita."

Mahameru tertawa hambar seketika. Lama. Sampai-sampai mengundang senyum geli Namira. Mahameru memandangnya dengan ringisan tak enak hati,

"Maaf, ya."

Namira tertawa, "Aku pengen julid sebenernya sama Pak Girda. Kalau Aki kan ya emang angkatan tua. Kalau Papanya Kakak kan lebih modern harusnya."

Mahameru mencebik, "Sebenernya bukan gara-gara Papa aku sih, Nami. Mama aku cerewetin aku perkara jodoh, terus akunya sengaja pasang syarat high quality gitu. Maksudnya, biar enggak dicerewetin sementara mereka survei calon mantu."

Namira mengangkat alis, "Aku ga ngerti sekarang. Apa hubungannya syarat Kakak sama keisengen Aki juga Papanya Kakak?"

Mahameru tertawa renyah. Namira tidak mengerti rupanya kalau di mata Girda Jamal dirinya masuk kategori calon mantu idaman yang sesuai dengan syarat kualitas yang iseng dilontarkan Mahameru demi mematahkan kecerewetan Hanifah Jamal. Mana Mahameru tahu dulu kalau ayahnya ternyata tahu kalau ada gadis lajang yang memenuhi kriteria tersebut? Sialnya, sekali sua, Mahameru pun terjerat pesonanya. Padahal sang Gadis yang masih sangat belia tersebut bahkan tak menaruh perhatian pada Mahameru.

"Kamu itu masuk kriteria calon mantu idaman Mama Papa aku." begitu Mahameru menyederhanakan sekaligus.

"Ya ampun, Kak Meru! Aku tuh masih kecil, ih! Masa udah didakwa bisa jadi mantu idaman? Pak Girda sama Bu Hanifah canda ya?"

Mahameru tergelak, "Daripada pake alesan janji masa lalu Mama aku terhadap mendiang Ibu kamu, lebih ga banget kan?"

Namira tertawa kering lalu mereka terdiam lama sampai akhirnya Namira bertanya tanpa benar-benar ia inginkan.

"Transit di mana?"

Lihat selengkapnya