Betapa Membosankannya Para Pangeran

Aubrey Rachman
Chapter #10

10 || BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHON

Rifky mengernyitkan alis mendapati Namira cemberut. Seharian uring-uringan tidak jelas berujung cemberut dengan mata berkaca-kaca sesekali. Sewaktu akhirnya Rifky bertanya, dia malah pasang tampang emosi dan jadi cemberut. Jujur saja, Namira menggemaskan saat begitu, membuat Rifky hanya ingin memeluknya biar tenang dalam buaian. Itu sebuah pilihan yang pasti efektif, Rifky tahu itu. Siapa tidak suka diberi perhatian manis kala tak enak hati? Terlebih ketika penyebab tak enak hatinya tidak jelas. Tapi, Rifky itu bukan bocah lelaki yang semacam itu. Ia tahu ada pemicu yang membuat Namira jadi begini. Ayah dan Ibunda selalu mengajarinya untuk selalu bersabar tidak mudah emosi dalam menghadapi setiap hal. Bukanlah ia diajar abai tapi mengenali masa bersabar. Itu adalah waktu yang harus dipakai untuk mengamati, mempertimbangkan dan menakar masalah. Dengan begitu ia terhindar jatuh langsung pada asumsi saat harus menyimpulkan. Mengenai lama waktunya ia bersabar sampai bisa mempersempit dugaan dan asumsi, tergantung besar kecil masalah. Rifky bersyukur menjadi putra Ayah Ibunda yang mengutamakan pembentukan karakternya sejak dini. Meski menikah muda mereka bukan orangtua yang memalukan.

Namira sekarang tidak enak hatinya. Dari bersabar, Rifky bisa mengerti Namira punya beban pikiran. Kalau tadi ia sekedar menenangkan dan menghibur kekasihnya, bisa jadi Namira sudah tertawa-tawa senang namun sudah tentu gadis itu akan kembali gundah hati sepeninggalnya.

"Jadi, kenapa?"

Namira menghentak kaki pelan dengan muka cemberut, "Iki, aku itu okay."

Rifky tersenyum seraya mengusap kepalanya. Namira melirik dan terdiam kala mendapat wajah pacarnya. Lelaki itu tersenyum dengan mata teduh.

"Kok kamu maksa sih aku harus cerita, Iki?"

Rifky mengangkat alis lalu tertawa kecil, "Aduh! Kamu ga nyaman?"

Namira mendengus tapi menunduk karena Rifky benar. Ia memang tidak nyaman. Seharian ini ia tahu sudah salah tidak bisa mengendalikan perasaan buruk yang menghantuinya sejak semalam. Sejak mendapati kejujuran Mahameru beserta kata-katanya yang kalau dipikir-pikir menyeramkan. Tidak seharusnya ia melampiaskannya pada Rifky karena justru di sini Rifky itu bisa dibilang korban.

Ya. Dia korban ketidaksengajaan dari kebodohan dirinya, menurut Namira. Rifky itu pacarnya. Ia sayang Rifky meski belum dua minggu resmi jalan tanpa restu Aki. Jadi, semalam, sewaktu Namira membiarkan Mahameru mengecupnya, itu salah Namira. Bukan salah Rifky. Justru seharusnya Rifky yang berhak uring-uringan terhadap Namira. Yakin juga Namira Rifky akan begitu kalau tahu.

Jelas memang alasan itu penyebab Namira gundah gulana sampai bikin emosi hari ini. Ia tak mau Rifky menilainya buruk kalau sampai tahu. Tapi, ia juga yakin harus menceritakan perihal Mahameru kepada Rifky. Ini soal saling terbuka supaya saling percaya.

"Aku kan cuma lagi menjalankan status sebagai pacar yang baik, Nami."

Namira melotot tapi seulas senyum tertahan tak bisa ia sembunyikan. Membuat Rifky tersenyum sambil mensejajarkan wajahnya, "Salah?"

Namira menghela nafas panjang balik memandang Rifky. Setelah sejurus meresapi rasa hangat di hatinya, Namira menggeleng, "Enggak."

Rifky tersenyum menepuk puncak kepala Namira lembut.

"Aku emang lagi marah, Iki."

Rifky membeliak lalu menunjuk dirinya sendiri. Namira cepat-cepat menggeleng kuat, "Bukan."

"Sama siapa?"

Namira menunduk lagi. Jemarinya memainkan ujung lengan kemeja flannel Rifky. Ia mengangkat sedikit wajahnya, mendapati Rifky masih memandangnya sabar. Tidak ada raut penasaran atau isyarat menuntut di sana. Sekali lagi Namira menghembuskan nafas sambil mengembungkan pipinya.

"Sama diri aku sendiri."

Mendengar itu, Rifky menahan nafas. Rasa gemasnya akibat ekspresi wajah lucu Namira terjeda khawatir. Tidak ada yang lebih sulit daripada memahami rasa bersalah macam itu. Sekecil apapun selalu meninggalkan bekas yang lebih mendalam. Sekarang Rifky mengenal Namira lebih dekat lagi: dia seorang gadis yang punya kecenderungan perfeksionis.

"Gara-gara apa, Sayang?" tanya Rifky lembut.

Namira menekuk wajahnya sejenak seakan mengatakannya adalah hal yang melukai harga dirinya.

"Aku lemah dan lemot."

Rifky mengangguk-angguk sambil bergerak mencari posisi lebih nyaman dan menarik Namira untuk bersandar di bahunya.

"Kok bisa?"

Namira menggerung pelan, "Ya bisa aja. Dasarnya aku emang lemot, Iki. Jadinya suka lambat cerna sampe salah handle situasi."

Rifky mengangguk saja. Sementara, Namira yang mulai nyaman, merebahkan kepalanya di bahu Rifky kemudian berkata lirih,

"Aku minta maaf. Belum apa-apa udah kecewain Iki."

Rifky bertanya-tanya sekarang, "Gimana?"

"Semalam itu ternyata orang yang kata Aki penting tuh Kak Meru."

Sebuah detak keras terbit di dada Rifky berlanjut sedikit gusar karena kalimat Namira memberi isyarat tak menyenangkan. Ia mencerna cepat, menyambungkan penggalan-penggalan fakta yang ada.

"Aku harusnya bisa lebih jaga jarak sama Kak Meru semalam. Kenapa sih aku lemot, Iki?"

Rifky tertawa pelan, "Soalnya kalau ga lemot, kamu sempurna, Sayang."

Namira tertawa sampai wajahnya bersemu merah, "Ga usah gombalin deh."

Rifky tergelak. Ia menunggu lagi Namira meneruskan.

"Aku enggak suka. Kak Meru ngomongnya aneh."

Rifky menahan nafas, "Jadi, yang dijodohin sama kamu tuh Bang Rui?"

Namira sejenak diam sebelum mengangguk, "Maaf aku ga ngomong dari awal."

Rifky sedikit kesal, menahan diri untuk bersuara dengan intonasi menyebalkan kala bertanya, "Kenapa?"

Namira diam sedikit lebih lama. Lalu,

"Pertama, aku ga bilang setuju ke Aki. Kedua, kupikir kamu dan Kak Meru ga saling kenal."

Instuisi Rifky berkata Namira belum selesai, maka ia berceletuk, "Ketiga?"

Namira menegakan duduknya, menatap lurus ke depan sebelum berbalik memandang Rifky dan bilang, "Aku pikir Kak Meru enggak mungkin juga mengiyakan perjodohan iseng-iseng Aki sama Pak Girda ini."

Rifky memandang lurus mata Namira. Ia masih merasa Namira belum tuntaskan ceritanya.

"Semalam, Kak Meru ngomongnya egois."

Lihat selengkapnya